Senin, 04 Oktober 2010

Bagaimana Rasanya Menjadi Orang Miskin? (1)

Tulisan ini dibuat sebagai bahan perbandingan dan perenungan mengenai bagaimana perjuangan usaha kecil menengah (UKM) menyelesaikan masalahnya pada saat krisis ekonomi. Kalau dibandingkan dengan para konglomerat yang mendapatkan kucuran dana lewat BLBI ataupun bail out (kasus Bank Century) tampak jelas terdapat perbedaan perlakuan tetapi saya tidak akan mengupas tentang hal tersebut.

Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat dahsyat dan saya sering menyebutnya dengan Gelombang Tsunami Ekonomi karena saya dan keluarga mengalami dampaknya secara langsung. Saya mengharapkan apa yang terjadi pada keluarga kami tidak dialami oleh keluarga-keluarga yang lain karena sangat menyedihkan dan mengerikan. Tulisan ini juga untuk mengenang jasa-jasa, ilmu pengetahuan dan pengalaman Almarhum Bapak kami yang tidak dapat dinilai dengan apapun.

Alhamdulillah saya dilahirkan dari keluarga mampu bahkan lebih dari cukup. Kami bersaudara berjumlah lima orang kakak beradik. Orang tua kami selalu memenuhi segala kebutuhan kami bahkan sampai kami berkeluarga seperti rumah, kendaraan bermotor dan lain-lain. Bapak adalah seorang pengusaha yang sukses dan sejak tahun 1976 beliau menggeluti usaha pengemasan Carton Box dan Corrugated Box (orang awam bilangnya bisnis dus untuk TV, kulkas, makanan dan minuman, sepatu dan lain-lain). Bahkan beliau pernah menjadi Ketua Asosiasi Perusahaan Pengemasan Carton dan Corrugated Box Seluruh Indonesia (PICCI) serta membuat Buku Putih tentang semua yang berhubungan dengan Carton dan Corrugated Box yang sampai sekarang masih digunakan oleh seluruh perusahaan carton dan corrugated box sehingga sering orang menyebut beliau adalah Dukun Karton karena semua ilmu perkartonan sudah diluar kepala dan dengan melihat barang yang mau dikemas tanpa mengukur sudah tahu ukurannya. Beliau pernah termasuk 30 Pengusaha Sukses Seluruh Indonesia versi KADIN. Bukan saya mau sombong atau pamer tapi ini adalah rasa kebanggaan kami terhadap beliau.

Beliau termasuk workaholic (gila kerja) dan tidak terlalu banyak bicara serta jarang mengomelin kami. Apabila kami bersalah, beliau selalu mengajak kami berdiskusi tentang kesalahan kami di meja makan dan selalu meninggalkan tulisan apa-apa saja perbuatan salah kami dan bagaimana solusinya. Karena kata beliau kalau hanya dibicarakan orang akan cepat lupa tetapi dengan tulisan orang akan mudah mengingat kembali dengan membuka tulisan tulisan itu apabila kami mempunyai masalah yang sama. Kami bersyukur bahwa tulisan-tulisan itu masih tersimpan utuh dalam bentuk buletin walaupun ada yang telah rusak sewaktu banjir tahun 2002. Beliau menginginkan kami semua menjadi orang yang mandiri dan suka bekerja dan mempunyai aktifitas yang jelas.

Dengan fasilitas yang diberikan oleh orang tua kami maka tidak heran kami semua bisa menjadi sarjana. Tahun 1995, saya lulus S-1 di salah satu perguruan negeri di Yogyakarta. dan selama 2 tahun saya bisa melanjutkan pendidikan MM walaupun ini biaya sendiri karena orang tua sudah tidak mau membiayai pendidikan saya. Saya tahu orang tua mampu untuk membiayai itu semua tetapi orang tua ingin melihat kerja keras saya mencari uang untuk pendidikan MM walaupun ada juga beliau membantu biayanya.

Sejak kuliah saya sudah belajar bisnis mulai dari jualan komputer, con block, usaha penyewaan sound system untuk acara dangdutan dan lain-lain sehingga membuat saya menjadi terbiasa dengan dunia bisnis. Ini saya lakukan gara-gara kecewa dengan almarhum yang sebenarnya sepele yaitu minta dibelikan komputer tapi kata beliau, komputer akan dibelikan tetapi bisa ga satu tahun kemudian komputer menjadi dua atau tiga bahkan lebih. Kalau tidak bisa ya tidak dibelikan. Akhirnya saya berusaha mencari jalan bagaimana supaya dibelikan dan bisa bertambah komputernya menjadi banyak yaitu dengan bisnis penyewaan komputer dan jualan komputer dengan merakit komputer bersama seorang teman dari fakultas teknik elektro yang mempunyai kemampuan merakit komputer.

Tahun 1988-1992, Pemerintah Presiden Soeharto banyak mengeluarkan kebijakan ekonomi berupa paket-paket ekonomi yang terkenal salah satunya adalah pakto (paket ekonomi bulan Oktober) yang memperbolehkan swasta membuka bank-bank sendiri dengan modal minimal Rp 1 milyar dan memberikan fasilitas kepada pengusaha untuk dapat menarik modal dari masyarakat. Pada saat itu tidak heran banyak bank-bank swasta yang bermunculan dengan nama yang bermacam-macan dan banyak memberikan hadiah-hadiah berupa mobil, rumah dan sebagainya untuk menarik minat masyarakat untuk menabung di banknya. Ternyata kebijakan ini banyak dimanfaatkan oleh para konglomerat untuk membiayai proyek-proyek anak-anak perusahaan mereka dimana dananya dari dana masyarakat yang menabung di bank mereka dan hanya sekian persen yang dikeluarkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat luas yang ingin meminjam untuk keperluan modal usaha, pembelian mobil, rumah dan lain-lain. Inilah awal mula datangnya gelombang tsunami ekonomi di Indonesia tahun 1997.

Sejak tahun 1982 sampai 1997, bapak selalu menjadi nasabah bank-bank pemerintah dan bank-bank itu silih berganti menawarkan fasilitas kredit modal kerja dan kredit investasi karena beliau dianggap sebagai nasabah yang baik dengan cash flow (keluar masuknya uang) dalam satu hari minimal 10 transaksi. Itulah kenapa bank-bank tersebut tertarik untuk menjadikan bapak sebagai nasabah mereka. Setahu saya berdasarkan keterangan mereka bapak mulai meminjam uang mulai dari Rp 75 juta sampai terakhir tahun 1996 pagu kreditnya mencapai Rp 1 milyar.

Sebelum tahun 1996 adalah masa-masa keemasan usaha bapak. Awalnya supplier karet cetak (Rubber Sheet), pita rokok yang diimpor dari Jepang sampai mempunyai pabrik karton sendiri. Pabrik karton milik bapak dibangun tahun 1987 dengan luas hanya sekitar 200 m2 dan itupun juga kontrak tanah dan berada di pinggir kali pesanggrahan. Jadi kalau hujan besar, anak buah bapak sudah harus siap-siap angkat sheet karton yang merupakan bahan baku pembuatan karton. Pada tahun 1989 perusahaan bapak pindah ke Tangerang dengan pabrik yang lebih luas sekitar 1200 m2, mesin-mesin baru yang sudah semi otomatis, penambahan jumlah kendaraan dan jumlah karyawan juga ikut meningkat yang awalnya 1 shift menjadi 3 shift.

Pada saat itu saya tidak terlalu banyak terlibat dalam usaha beliau karena saya punya usaha sendiri walaupun kecil-kecilan yaitu bubuk cabe lokal, jahe emprit kering, lengkuas kering dan lain-lain yang banyak dipakai pabrik jamu serta sempat ekspor jahe gajah ke singapura walaupun mengalami kerugian karena ditipu orang.

Kenapa saya tidak membantu usaha bapak? Waktu itu saya dan bapak seperti anjing dan kucing, selalu beda pendapat, keinginan bapak dan saya selalu berbeda, dan saya selalu berpendapat bapat terlalu konservatif (biasalah pemikiran orang baru lulus MM yang selalu serba canggih dan muktahir).tetapi pada akhirnya saya akan mengakui bahwa bapak adalah orang yang sangat cerdas dan kemampuan saya ternyata tidak ada apa-apanya.

Seperti yang saya ceritakan diatas tentang banyaknya bank-bank swasta yang baru mengakibatkan orang jor-joran menabung dengan harapan mendapatkan undian berhadiah. sehingga uang banyak tersimpan di bank-bank swasta. Ironisnya sebagian besar dari dana itu dipakai oleh anak-anak perusahaan yang masih satu grup dengan bank-bank swasta tersebut dan makin parahnya adalah banyaknya proyek-proyek anak perusahaan mereka sebagian besar macet. Karena apa? Bukan usaha yang membutuhkan uang tetapi uang yang membutuhkan usaha sehingga banyak uang yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukkannya. Selain itu tumbuhnya konglomerat yang merambah dari hulu sampai hilir dimana disitulah lahan industri kecil menengah dan kesulitan untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan konglomerat. Ini yang tidak disadari pemerintah saat itu.

Tahun 1997 terjadilah krisis ekonomi di Asia mulai dari Korea Selatan, Thailand sampai ke Indonesia akibat dari permainan spekulan mata uang dunia yang menyebabkan nilai dollar AS menjadi tinggi dan menekan nilai mata uang rupiah yang terus melejit dari nilai 1 dollar AS = 2750 IDR sampai sempat menembus angka 15.000 IDR. Ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak melakukan pengetatan uang dan kebijakan mematok nilai mata uang kita pada nilai tertentu malahan mengikuti mekanisme pasar yang banyak dihuni oleh spekulan-spekulan kelas dunia akhirnya sampai sekarang nilai rupiah kita sudah sangat susah mencapai nilai Rp 5000 sekalipun.

Pada saat itu dunia usaha terutama yang kecil dan menengah mengalami dampak langsung dan mulai kelihatan kesulitan mendapatkan bahan baku serta kesulitan mempunyai uang cash karena semua modal kerja merupakan kredit dimana bunga kredit juga ikut melejit sehingga untuk membayar bunganya saja sudah sangat susah. Kesulitan bahan baku bagaimana?  Sebelumnya perusahaan bisa pesan bahan baku dengan pembayaran 3 bulan dan diproses untuk customernya dengan masa pembayaran 1-2 bulan sehingga ada nafas dan ada keuntungan berupa selisih harga,dan waktu dimana uang dapat diputar untuk keperluan yang lain. Sesudahnya perusahaan bapak harus bayar cash dimuka, baru bahan baku dikirim, sementara customer tetap bayarnya 1-2 bulan bahkan ada yang 3 bulan.

Perusahaan kecil dan menengah harus bayar dimuka baru bahan baku dikirim dan parahnya lagi perusahaan pemasok bahan baku yang merupakan konglomerat juga ikut masuk ke pasar perusahaan kecil dan menengah dengan harga yang lebih murah sekitar 12% dan itu juga ditambah diskon 5% kalau bayar cash. Bagaimana bisa bersaing yang kecil-menengah dengan yang besar. Selain itu pemerintah maupun asosiasi pengusaha seperti tutup mata.

Inilah awal datangnya gelombang tsunami ekonomi dimana bapak mulai mengurangi shift kerja dari 3 shift menjadi 2 shift.dan melakukan pengurangan tenaga kerja mulai dari 67 orang menjadi 54 orang. Kondisi makin parah dan pada tahun 2000 perusahaan bapak mogok dengan menyisakan karyawan tinggal 9 orang dan masih meninggalkan masalah pesangon, pinjaman bank yang makin membengkak, harga bahan baku yang sudah tidak terjangkau.

Pada tahun 1999 saya diminta tolong beliau untuk mengatasi masalah perusahaan yang kelihatannya sudah mulai goyang. Buktinya adalah berkurangnya kegiatan usaha di pabrik, tunggakan pembayaran cicilan bank sampai 3 bulan, gaji karyawan yang tertunggak sampai 1 bulan dan lain-lain. Setelah saya masuk ke dalam perusahaan akhirnya disadari kurang tanggapnya kami terhadap perkembangan ekonomi . Contohnya adalah ketika bunga bank sempat mencapai 43% seharusnya bapak mengirim surat kepada bank untuk melaporkan ketidaksanggupan membayar bunga bank sekian dan meminta penghapusan bunga karena untuk membayar pokoknya saja sudah berat. Tetapi itu tidak dilakukan sehingga bunga bank mencapai 147%. Itu saya maklumi karena selama ini beliau selalu "One Man Show" sehingga hal-hal kecil kurang diperhatikan. 

Disamping itu sejak pabrik pindah dari Kembangan ke pabrik yang lebih besar di Tangerang, Bapak tidak pernah sekalipun datang ke pabrik untuk kontrol. Semuanya diserahkan kepada orang kepercayaannya dan hanya dapat laporan melalui telepon ataupun data yang di fax. Nah disanalah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dan sejak saya masuk ke dalam sudah 13 orang yang dipecat karena perbuatan pidana berupa pencurian, korupsi dan sebagainya.

Sejak saya menangani pabrik bapak mengakibatkan usaha pribadi saya tidak terurus karena saya lebih konsentrasi penuh ke usaha bapak yang perlu penanganan ekstra. Alasan yang lain adalah usaha bapak di bidang produksi sementara usaha saya adalah perdagangan jadi bisa disela waktunya. Inilah awal kebangkrutan dan kemiskinan keluarga kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar