|  | 
| ilalliqa.wordpress.com | 
Ada  peristiwa menarik yang terjadi pada hari pertama Idul Fitri kemarin.  Tidak seperti biasanya pada saat mau sungkem minta maaf kepada Ibu.  Tiba-tiba ibu mengatakan bahwa beliau sudah memberikan maaf kepada saya  dan tidak usah melakukan sungkem. Tapi ??? Ya ada tapinya yaitu ubahlah  permohonan maaf saya dengan mengingat kembali kebaikan-kebaikan para  orang tua baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.  Kemudian contoh atau tiru perbuatan baik para orang tua tersebut agar  saya bisa meninggalkan hal yang baik sebelum meninggalkan dunia kelak.
Saya  sempat terkejut mendengarnya tapi saya tetap sungkem mohon maaf kepada  Ibu. Menurut saya, ada sikap ibu yang aneh pada hari itu. Saya pikir Ibu  melakukan hal tersebut hanya kepada saya tapi beliau melakukan hal yang  sama juga ketika kakak-adik saya datang untuk sungkeman kepadanya.
Ada  apakah gerangan yang terjadi ? Setelah semua tamu termasuk kakak-adik  pulang dan rumah kembali sepi, Ibu meminta saya untuk menemaninya untuk   menonton TV. Di saat itulah Ibu menceritakan kenangan-kenangan masa  lalu terutama mengenai Bapak, Kakek, Paman atau Guru-guru beliau. Dengan  seksama saya mendengarkannya dan sempat tertawa ketika beliau  menceritakan hal yang lucu pada masa mudanya.
Ada satu  cerita menarik yang berkaitan dengan kebaikan orang tua dulu yaitu  mengenai Bapaknya ibu  bernama Datuk Merahmad (kakek saya). Perlu  diketahui profesi Datuk saya sampai akhir hayatnya adalah seorang Hakim  Pengadilan Negeri dan Militer di Sumatera Selatan. Kemudian Ibu  bercerita tentang laku lampah Datuk selama hidupnya. Sebelum menjadi  pegawai pemerintahan Hindia Belanda, selama 8 tahun Datuk menempuh  pendidikan di Sekolah Pegawai Pangreh Praja dengan nama MOSVIA (Middlebare Opleiding  School Voor Inlandsche Bestuur Ambtenaren) di  Bukit Tinggi. Setelah lulus tahun 1927, Datuk diangkat menjadi Demang di  Muko-Muko, Bengkulu menggantikan mertua beliau (Datuk Abdul Azis)  karena meninggal dunia.
Pada  tahun 1950, oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka Datuk diangkat  menjadi Hakim Pengadilan Negeri dan Militer di Bengkulu. Baru pada tahun  1953, Datuk diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri dan Militer  di Padang. Setelah hampir 5 tahun mengabdi menjadi hakim di Padang,  Datuk diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sumatera Selatan  merangkap Hakim Mahkamah Militer (1958-1966) dan meninggal dunia di  Palembang pada tahun 1967.
Sebagai  anak dan cucu bangsawan di Bengkulu, Datuk mempunyai kemudahan dalam  urusan pendidikan sehingga bisa mengecap pendidikan tinggi tapi pada  jaman Jepang Datuk membawa keluarganya melarikan diri ke hutan karena  dianggap sebagai antek pemerintah Belanda oleh penjajah Jepang. Dengan  latar belakang keluarga Datuk maka tidaklah mengherankan beliau  dihormati dan disegani oleh masyarakat. Tetapi beliau sangat tidak  menyukai sikap masyarakat yang selalu duduk sembah bila bertemunya. Kata  Ibu, Datuk pasti marah dan menyuruh mereka untuk tidak menyembah beliau  seperti jaman kerajaan dulu.
Sebagai  seorang hakim yang mendapatkan fasilitas dari negara seperti rumah dan  mobil dinas, Datuk selalu wanti-wanti kepada anak-anaknya yaitu tidak  boleh menggunakan fasilitas negara tersebut untuk keperluan pribadi.  Beliau mengatakan kalau fasilitas negara tersebut diberikan untuk  keperluan dinas beliau bukan untuk keluarganya sambil menunjukkan Surat  Keputusan Pengangkatan beliau bahwa SK tersebut hanya menyebut nama  beliau dan tidak tertulis nama-nama keluarganya. Jadi hanya untuk beliau  hehehehe
Datuk  selalu mengingatkan isteri dan anak-anaknya agar siapapun yang datang ke  rumah dinas untuk urusan dinas (perkara)  di luar jam kerja maka  hukumnya wajib dilarang alias disuruh bertemu di kantor pada jam kerja  atau diusir bila masih ngeyel baik beliau ada atau tidak ada di rumah.  Siapapun tamu yang datang tepat waktu Maghrib, beliau melarang  keluarganya untuk menerimanya atau mendiamkan saja sampai sekeluarga  menjalankan Sholat Maghrib.
Pernah  satu hari adik ibu yang paling kecil selepas pulang sekolah dipanggil  oleh seorang tauke Cina yang mempunyai toko pakaian memberikan dua  potong baju karena merasa kasihan melihat anak hakim berpakaian yang  sudah banyak tambalannya. Tanpa disengaja Datuk melihat adik ibu  mengenakan baju pemberian tersebut, langsung saja Datuk menginterogasi  adik Ibu dan menanyakan darimana asal baju tersebut karena dengan uang  jajan yang diberikan maka tidak mungkin adik Ibu mampu membelinya.  Dengan wajah ketakutan akhirnya adik Ibu mengatakan sebenarnya. Langsung  saja Datuk mengajak adik Ibu ke tauke Cina tersebut dan mengembalikan  pemberian tersebut sambil memarahi sang tauke Cina tersebut. Datuk  mengingatkan tauke Cina tersebut agar jangan sekali-kali memberikan  apapun kepada anak-anaknya dengan alasan jabatannya, kemampuannya untuk  memenuhi keperluan keluarganya dan alasan utamanya adalah menghindari  fitnah (bisisk-bisik tetangga). Padahal tauke Cina tersebut tidak pernah  mempunyai kasus hukum.
Selain  itu ada sebuah peristiwa dimana saat Datuk pulang kerja, beliau  menemukan satu kaleng biskuit (satu blek) di meja tamu. Maka beliau  menanyakan kepada Andung (nenek saya) mengenai kaleng tersebut. Setelah  mengetahui siapa yang memberikan dan apa isi di dalam kaleng tersebut  maka Datuk marah besar dan menelpon polisi untuk menangkap orang yang  memberikannya. Ternyata di dalam kaleng tersebut berisi uang dalam  jumlah yang besar. Oleh Datuk, pemberian tersebut dikembalikan tanpa  pernah menyentuh atau membukanya. Ternyata beliau mengetahui adanya  usaha penyuapan agar kasus hukum orang yang memberikan hadiah tersebut  dihentikan alias dibebaskan dari segala tuntutan.
Ada satu  kejadian unik pada saat menetapkan keputusan hukum terutama kepada  orang-orang yang melakukan tindakan pidana ringan. Contohnya adalah  maling ayam. Datuk selalu menetapkan hukuman yang lain daripada yang  lain. Terpidana tidak dimasukkan penjara tetapi dipekerjakan di  rumah-rumah dinas pejabat pemerintah selama masa hukumannya antara 6-12  bulan. Beliau mengatakan demikian kepada terpidana tersebut,
" Kalian  diberikan hukuman kerja sosial di rumah-rumah dinas pejabat pemerintah.  Ada yang jadi tukang rumput, supir, penjaga rumah dan lain-lain. Tapi  bila ketahuan melakukan pelanggaran hukum selama masa hukuman maka akan  diberikan hukuman yang lebih berat dan dimasukkan ke penjara atau bahkan  lebih berat lagi yaitu ditembak mati karena semua pejabat pemerintahan  dijaga oleh polisi/tentara yang dipersenjatai. Sayapun bisa menembak  kalian bila melakukan tindakan kejahatan di rumah saya. Lagipula nama  baik kalian dijaga dan tetap baik karena setelah kalian melewati masa  hukuman maka masyarakat tidak akan menyebut kalian sebagai mantan  narapidana (bromocorah) tetapi mantan pekerja karena tidak dibui "
Walaupun  Datuk sudah lama meninggal dunia, maka tidaklah mengherankan (sampai  sekarang) "mantan-mantan tersebut" dan keluarganya masih selalu  melakukan silaturahim ke rumah Datuk di Palembang terutama pada saat  Idul Fitri. Mereka merasakan adanya nilai-nilai kekeluargaan dalam sikap  dan perbuatan almarhum Datukselama hidupnya.
Masih  banyak cerita tentang laku lampah beliau selama hidupnya yang  diceritakan oleh ibu. Mungkin butuh tulisan yang lebih panjang. Tetapi  saya berharap dengan cerita di atas, kita mau mengetahui, merenungkan  dan menjalankan setiap perbuatan baik orang tua kita dulu dalam  kehidupan sehari-hari. Saya mohon maaf. Bukan ingin menyombongkan atau  pamer dengan menuliskan kisah Datuk sendiri tetapi berharap tulisan ini  dapat mengingatkan kembali tentang kesucian fitrah manusia yaitu menjadi  manusia yang baik dan bermanfaat.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar