Minggu, 26 September 2010

Kisah Sang Pramuria (III)

Seminggu kemudian, aku memenuhi janjiku kepada Mira. Kudatangi tempat kos Mira dan langsung aku mengajaknya menemui mucikari yang selama ini induk semangnya. Tanpa basa basi aku mengatakan kepada mucikarinya bahwa aku berniat untuk membebaskan Mira dengan membayar semua yang menjadi beban Mira selama ini.

Awalnya mucikari Mira kaget dan tersentak mendengar maksud kedatanganku. Tetapi setelah melalui pembicaraan yang alot, akhirnya tercapailah kesepakatan antara aku dengan mucikari tersebut. Aku harus membayar sejumlah uang sebagai pengganti tanggungan Mira kepadanya. Aku langsung menyanggupi dan dalam waktu 3 hari uang sudah kuserahkan kepadanya.

Setelah itu aku merasakan adanya sedikit yang lepas dan kupeluk Mira dengan perasaan sayang walaupun semuanya akan terasa lega pada tiga hari kemudian.

" Mas Widi, terima kasih ya. Cuma itu yang bisa saya katakan dan sungguh saya tidak bisa berkata apa-apa lagi "

" Sudahlah Mir. Yang penting beban berat yang kamu tanggung selama ini segera berakhir "

Tiga hari kemudian Aku berhasil mendapatkan uang sebesar yang diinginkan mucikari Mira. Aku menjual mobil kijang dan sisanya dari tabunganku. Lega hati ini dan hari itu merupakan hari yang takkan pernah kami lupakan. Itulah hari pembebasan Mira sebagai wanita tanpa embel-embel negatif lagi.

Kemudian aku mengajak Mira pergi meninggalkan tempat lokalisasi tersebut dan saat itu juga aku mencarikan tempat tinggal baru untuknya. Kebetulan aku sudah mendapatkan tempat tinggal baru Mira sehari sebelumnya. Tampak wajah bahagia yang menyelimuti Mira dan berulang kali Mira memelukku dan mengucapkan rasa syukurnya.

Apakah segalanya sudah selesai ? Belum. Aku menganggap bahwa inilah awal kehidupan kami berdua. Aku menyadari makin banyak rintangan dan cobaan di kemudian hari. Diantaranya adalah masalah status Mira yang belum diceraikan oleh suaminya, Dahlan dan dari keluargaku sendiri. Apakah orang tuaku mau menerima kondisi dan latar belakang Mira ?
Hari berganti hari, kemesraan kami makin kental tapi kami terus menjaga norma-norma agama dalam hubungan ini. Menariknya, Mira mulai menunjukkan perubahan yang lebih baik. Ibadah sholatnya tidak pernah lepas malah Mira sering kali mengingatkanku setiap waktu sholat.

" Kamu telah berubah, Mir. Saya makin sayang padamu "

" Ini semua berkat bimbingan Mas Widi selama ini. Terima kasih ya Mas "

" Saya juga ingin mengucapkan terima kasih karena kamu sering kali mengingatkan saya untuk sholat tepat waktu. "

Kemesraanku dan Mira makin lama makin bertambah dan bukan lagi cinta tapi sudah kasih sayang yang dilandasi oleh kesucian hubungan manusia berlainan jenis kelamin. Apalagi keluargaku tidak mempermasalahkan latar belakang Mira. Malah mereka mendukung hubungan kami berdua dan mengharapkan adanya hubungan yang lebih jauh yaitu perkawinan.

Tetapi aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Aku selalu berfirasat suatu hari suami Mira akan mencarinya dan menuntut haknya sebagai suami karena secara hukum negara mereka berdua memang belum bercerai walaupun secara agama mereka berdua telah sah bercerai.

Benar saja apa yang saya kuatirkan terjadi. Suatu hari Mira menelponku dan mengatakan kalau dia baru saja bertemu dengan suaminya. Segeralah aku meluncur ke tempat kosnya. Diceritakan kalau suaminya mendapatkan informasi dari mucikari Mira dulu tentang keberadaan Mira saat ini. Kemudian suaminya menuntut haknya sebagai suami. Mira marah sekali karena suaminya tidak punya hak lagi atas dirinya. 0ira tahu kalau itu hanya akal-akalan suaminya untuk menguras harta yang dimilikinya . Padahal suaminya tahu kalau Mira sudah tidak bekerja lagi tapi tetap saja memaksa dengan alasan Mira bisa memintanya dari aku. Sungguh lelaki kurang ajar dan tidak tahu diri. Kusarankan agar Mira segera mengurus surat perceraiannya lewat pengadilan agama. Akhirnya Mira berjanji akan segera mengurusnya.

Dalam waktu satu tahun, Mira resmi bercerai dari suaminya berdasarkan keputusan pengadilan agama Cirebon walaupun suaminya tidak pernah hadir dalam setiap proses persidangan. Pada akhirnya suaminya setuju juga menandatangani keputusan pengadilan agama tentang perceraian mereka. Sejak saat itu Mirapun resmi menjadi janda. 

Dengan keputusan tersebut, aku semakin mantap untuk menikahi Mira. Dalam waktu 6 bulan kemudian aku dan Mira sepakat untuk melangsungkan pernikahan. Sungguh perjuangan yang luar biasa dari cinta kami berdua. Ingin rasanya hari pernikahan segera tiba dan tidak perlu menunggu waktu lama tapi mau apa lagi karena orang tuaku punya pertimbangan yang lain.

Allah memang Maha Segala-galanya. Kita hanya bisa berencana tetapi Allah yang punya kuasa dan kehendak. 2 bulan menjelang pernikahan kami, tiba-tiba Mira merasakan sakit kepala yang luar biasa disertai dengan muntah-muntah. Aku pikir Mira hanya masuk angin biasa karena terlalu semangat mempersiapkan pernikahan kami sehingga lupa makan dan istirahat. Ternyata sakitnya tidak hanya sekali atau dua kali saja tapi hampir setiap hari Mira mengalaminya. Berat tubuhnya turun drastis.


Akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Awalnya dokter mengatakan kalau Mira hanya keletihan saja. Tetapi setelah dilakukan tes darah maka baru diketahui kalau Mira positif mengidap virus HIV. Berita itu seperti petir menghantamku di waktu siang hari. Aku terdiam dan tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Berulang kali Mira menangis meratapi nasibnya apalagi setiap melihat diriku, Mira makin drop mentalnya. Mira selalu menyalahkan dirinya dan merasa bersalah di hadapanku.

Memang berat menerima kenyataan ini tetapi aku berusaha untuk tegar dan memantapkan diri untuk menerima Mira apa adanya dengan selalu berdoa kepada Allah setiap sholat malam. Tetap saja Mira merasa bersalah dan mengatakan kalau dirinya tidak pantas untuk diriku. Dengan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa setiap hari kuyakinkan Mira bahwa aku tetap akan menikahinya dan siap menanggung resiko di kemudian hari. Aku hanya berpikir mungkin ini adalah ujian Allah kepada kami untuk mengetahui sejauh mana cinta kasih kami berdua. Akhirnya Mirapun menyadari dan tetap tegar menerima nasibnya.

Manusia boleh punya rencana tapi Allah yang mempunyai kuasa dan kehendak. Satu minggu menjelang pernikahan kami, Mira masuk kembali ke rumah sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri. Disamping itu penyakit AIDS-nya makin menggerogoti tubuhnya. Berat badan Mira turun drastis dan kulitnya makin kusam serta wajahnya tampak tirus kelihatan lekukan tulang. Tetapi aku tetap mencintainya dan berusaha selalu membisikkan ke telinga kalau hari bahagia itu sudah di depan mata. walaupun Mira terbujur kaku di tempat tidurnya.

Suatu hari aku mendapat panggilan dari dokter yang merawatnya. Dokter menerangkan kepada saya kalau umur Mira hanya tinggal hitungan hari. Dokter mengatakan telah berusaha secara maksimal tetapi penyakit AIDS-nya sudah memasuki stadium 4 dan aku disarankan untuk pasrah menerima kemungkinan yang terburuk. Aku hanya bisa meratapi nasib Mira tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Air mata ini sudah tidak dapat berlinang air mata lagi.

Beberapa jam kemudian, Mira menghembuskan nafasnya yang terakhir. Yang membuatku terkejut adalah di pipinya keluar mata seperti ada kepedihan yang mendalam di hatinya untuk meninggalkan diriku selamanya. Aku menangis tersedu-sedu dan kucium dahinya sambil membisikkan asma Allah. Aku ikhlas menerima kepergiannya dan berusaha untuk mengerti kehendak Allah atas kehidupan Mira yang hanya sampai disini. Betapa malang nasibmu, Mira. Selama ini Kau hidup dalam penderitaan tapi aku tahu saat ini kau bahagia kembali ke pangkuan Sang Pencipta.

Setelah 2 bulan meninggalnya Mira, dengan kesedihan yang mendalam aku memutuskan untuk pergi mengelana kemanapun mengikuti apa kata hatiku. Aku melakukannya agar dapat melupakan kenangan indah bersama Mira. Tanpa kusadari kaki ini membawaku menjadi seorang pengelana kehidupan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar