Senin, 30 Agustus 2010

Ramadhan, Masihkah Seperti Dulu ?

Ada beberapa orang teman meminta saya untuk membuat tulisan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan. Aduh apa ya ?! pikir saya saat itu. Saya sudah membayangkan kalau tulisan saya dianggap kepagian tapi saya pikir lagi kalau tulisan saya diharapkan dapat membuka wawasan berpikir yang membacanya walaupun ditulis sebulan sebelum bulan Ramadhan.

Saya sudah dapat membayangkan bagaimana suasana bulan puasa nantinya. Semua televisi, radio dan media lainnya akan diisi oleh acara-acara bernafaskan Islami. Tetapi saya hanya bisa mengurut dada karena acaranya akan seperti tahun-tahun sebelumnya dengan tambahan kemasan yang lain. Kecuali Sinetron Para Pencari Tuhan, sebagian besar tema sinetron masih berkisar perselisihan, intrik, dendam dan humor slapstik yang dihubung-hubungkan dengan bulan Ramadhan. Selain itu akan bertebaran acara-acara kuis dengan host-nya kebanyakan pelawak atau mirip pelawak dengan tujuan menarik pemirsa untuk ikut kuis tersebut. 

Dan parahnya adalah pertanyaannya masih sama dengan puasa tahun lalu.
Kemudian yang akan ramai lagi yaitu banyaknya ustad atau kyai yang diundang dan dipakai sebagai nara sumber untuk acara pengajian di stasiun-stasiun televisi bahkan disiarkan langsung. Begitu dan begitu seterusnya. Hanya sedikit perubahan yang memberikan pencerahan bagi umat Islam yang sedang menjalankan puasa di bulan Ramadhan tersebut.

Saya punya angan-angan yang mungkin agak berbeda dengan yang ditayangkan oleh televisi. Alasan saya ke televisi karena televisi adalah media yang mudah dijangkau dan efektif dalam penyampaian informasi. Bayangan saya adalah sebagai berikut :

Sudah seharusnya Tim atau Panitia dari tiap ustad/kyai yang diundang dan disiarkan langsung oleh TV mempersiapkan sebuah acara tersendiri dan ditawarkan kepada media televisi yang mengundangnya. Contohnya adalah di tengah-tengah acara pengajian yang biasanya diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh banyak jamaah harus ada informasi yang bermanfaat bagi umat. Ustad/Kyai memperkenalkan 10 atau 20 orang muslim yang hidupnya kurang beruntung. Misalnya diperkenalkan satu persatu dari 10 atau 20 orang tersebut latar belakangnya. Si A seorang pengangguran dan hidupnya miskin tapi tetap bekerja keras untuk membantu biaya pengobatan ibunya...ayo dibantu dan siapa diantara jamaah yang hadir di mesjid atau pemirsa yang punya informasi pekerjaan tolong carikan pekerjaan buat si A. Si B seorang anak yatim piatu yang sehari-hari kerjanya mengemis di pinggir jalan dan sudah tidak sekolah. Ayo jamaah sekalian di bantu. Si C seorang ibu yang sakit parah dan sudah tidak mampu lagi membiayai keperluan kesehatannya ayo ditolong. Si D bla bla bla bla dst. Ini diumumkan oleh Ustad/kyai yang diundang. Saya yakin jamaah yang hadir dan pemirsa di rumah akan berbondong-bondong membantu. Semua ini dilakukan atas nilai kejujuran baik panitia dari ustad/kyai yang diundang maupun pihak televisi dan serba transparan. Ini bisa terus dilakukan bukan hanya pada puasa bulan Ramadhan saja tapi seterusnya. Saya membayangkan dan merasa yakin jumlah umat Islam yang kurang beruntung tersebut akan berkurang sedikit demi sedikit.

Jadi umat bukan hanya dicekoki dalil-dalil dan diakhiri dengan tangisan berdoa tapi dibangkitkan kepedulian terhadap umat yang hidupnya kurang beruntung. Saya yakin kyai/ustad ternama tersebut mampu melakukannya karena sudah saatnya peran ustad/kyai bukan sekedar berdakwah tapi melakukan dengan cara buktikan dan nyatakan atau bahasa sehari-harinya teori dan praktik seiring dan sejalan atau dakwah dan implementasinya dinyatakan dalam perbuatan riil.

Saya teringat pada pengalaman pribadi saat diajak oleh teman beragama Budha ke klenteng di daerah utara Jakarta. Saat itu saya hanya ingin tahu saja mengenai apa saja yang ada di klenteng tersebut. Sementara teman berdoa di dalam, saya jalan-jalan mengelilingi klenteng tersebut. Tepat di sebuah ruangan saya dipanggil oleh seorang biksu. Dengan sapaan lembut dan sopan, biksu tersebut menanyakan maksud kedatangan saya di klenteng. Saya bilang kalau saya beragama Islam dan ingin tahu tentang klenteng tersebut. Bukannya marah atau menolak saya tapi malah saya diajak jalan-jalan sampai ke dalam klenteng. Sampai pada waktu mau pulang saya sempat bercanda dengan biksu tersebut dengan mengatakan kalau saya tidak punya uang untuk pulang dan saya katakan juga kalau rumah saya di jawa tengah. Tanpa banyak tanya biksu tersebut langsung mengambil sesuatu dibalik jubah kuningnya. Ternyata yang diambil adalah sejumlah uang senilai Rp 75 ribu. Uang tersebut diberikan semua kepada saya. Biksu pun mendoakan saya agar selamat di jalan. Wow sebuah pengalaman yang luar biasa.

Nah dari peristiwa di klenteng tersebut maka saya membayangkan seandainya seluruh ustad/kyai/habib/ulama/umat Islam yang dianggap mampu dan berpikir positif (husnudzon) maka saya merasa yakin umat Islam yang hidupnya miskin akan berkurang jumlahnya. Pertanyaannya adalah Apakah Ramadhan tahun ini masih seperti dulu ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar