Kamis, 26 Agustus 2010

JIHAD PENDIDIKAN

Kisah ini mungkin pernah dialami oleh kebanyakan orangtua yang mempunyai anak usia sekolah. Sering kita mendengar keluhan para orang tua tentang mahalnya pendidikan di Indonesia dan sering terjadinya pungutan liar oleh oknum sekolah walaupun sudah ada Peraturan Daerah yang melarang pungutan apapun pada setiap penerimaan murid/siswa sekolah. Tetapi tetap saja peraturan tinggal peraturan. Tiap sekolah mempunyai aturan mainnya sendiri dan kadang mengecilkan makna pendidikan dan status anak terutama dari keluarga tidak mampu.

Ini ada cerita yang mungkin dapat menjadikan suatu renungan, pemikiran dan contoh tentang jihad seorang ayah yang dengan ikhlasnya mengorbankan segalanya demi pendidikan anaknya.

Ada seorang bapak bernama Umar (bukan nama sebenarnya). Beliau telah lama mengenal saya mungkin sekitar 8 tahun-an. Kalau anda membaca profil beliau mungkin banyak yang mencibir atau merendahkan statusnya. Beliau adalah mantan napi dengan prestasi 3 kali di penjara dengan kasus pembunuhan dan kasus politik. Tetapi beliau adalah orang yang sangat bertanggungjawab kepada keluarganya terutama masa depan anak-anaknya. Disamping itu beliau adalah teman yang sejati, supel, toleran, mengerti kesusahan teman, tidak basa-basi dan tampil apa adanya. Beliaulah yang selalu menjadi teman diskusi, curhat, penghilang stres dan mengasyikkan walaupun cukup mengerikan kalau berkumpul dengan teman-teman beliau yang berlatar belakang mantan napi, preman, dan yang masih aktif pun ada. Tetapi itu berlaku bagi orang yang selalu berpikiran negatif tentang profil mereka yang bertato, bermata liar, berbicara apa adanya kadang cenderung tidak sopan (bagi orang awam) dan semau gue.

Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang mempunyai hati nurani juga kok. Karena pandangan orang yang selalu negatif maka merekapun merespon negatif juga. Tetapi tidak bagi orang yang selalu berpikiran positif, ikhlas berteman, bersilaturahmi dan sebagainya.

Suatu hari, saya berkunjung ke tempat beliau untuk sekedar bermain dan diskusi tentang banyak hal. Itu sering kali saya lakukan hamper seminggu sekali. Kadang saya yang ke rumah beliau , kadang sebaliknya. Begitulah silahturahmi yang selalu kami jaga.



Ketika sedang enak-enaknya berbicara, tiba-tiba datang anak perempuannya (si bungsu) sambil menangis dan terisak-isak tanpa bicara sedikitpun mengucapkan kata-kata kepada bapaknya. Kemudian Beliau masuk ke kamar si bungsu untuk menanyakan apa yang terjadi sebenarnya tetapi beliau tidak mendapatkan apa-apa karena si bungs uterus menangis dan menyendiri di dalam kamar. Rupanya hari itu adalah hari terakhir pendaftaran masuk SMP. Si bungsu dan Ibunya pergi ke sekolah untuk menyerahkan sejumlah uang yang dikatakan uang pembangunan sekolah. Dengan mata yang berbinar-binar dan tampak wajah kebingungan serta bercampur marah tetapi tidak tahu apa yang terjadinya terus menunggu kedatangan sang istri yang baru sampai di ujung jalan. Kemudian obrolan kami dilanjutkan walaupun terasa janggal karena masih ada pertanyaan di dalam pikiran kami tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Akhirnya sang istri tiba juga di rumah dengan raut muka muram dan tampak mata merah seperti orang baru menangis. Kemudian sang istri masuk ke dalam rumah yang kecil dan keluar lagi sambil membawa kopi panas dan kue yang baru dibelinya di jalan tadi.

Kemudian oleh beliau, sang istri disuruh duduk dan menjelaskan apa yang sebenarnya yang terjadi. Dengan suara yang terbata-bata diceritakan bahwa tadi pihak sekolah menolak dan memaksa untuk membayar penuh uang sumbangan pembangunan sekolah walaupun si bungsu telah diterima di sekolah tersebut. Dikatakan oleh pihak sekolah bahwa hari ini adalah hari terakhir untuk melunasi uang sumbangan dan akan mencoret calon siswa yang belum melunasi dengan alasan terpaksa yang kemudian akan digantikan oleh calon siswa daftar tunggu yang mampu membayar uang sumbangan. Perlu diketahui bahwa si bungsu adalah anak yang pintar dan bisa dibuktikan dengan hasil rapor SD-nya yang selalu mendapatkan ranking serta nilai Ebtanas yang baik juga. Rupanya sang ibu datang ke sekolah untuk menjelaskan kepada pihak sekolah bahwa orang tua siswa sanggup membayar uang sumbangan tetapi memohon keringan untuk mencicil beberapa kali karena kondisi orang tua murid sedang susah dan baru ada uang sedemikian rupa (kalau tidak salah uang sumbangan Rp. 3 juta sementara beliau baru ada uang Rp 450 ribu). Tetapi tetap pihak sekolah menolak usulan sang istri.

Setelah mendengar dan menyimak penjelasan dari sang istri tanpa banyak bicara beliau langsung masuk ke dalam kamarnya dan meminta uang untuk cicilan tadi. Kemudian beliau meminta saya untuk mengantarkan beliau ke sekolah. Sesampainya di sekolah masih tampak ramai para orang tua yang mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Kemudian beliau bertanya kepada pihak sekolah dimana letak kantor kepala sekolah. Rupanya pihak kepala sekolah sedang banyak menerima tamu terutama para orang tua calon siswa yang ingin bertemu dengan berbagai maksud. Setelah lama menunggu akhirnya tiba pada giliran kami. Dengan sopannya beliau menyapa kepala sekolah dan saling berhadapan sementara saya duduk di sofa dalam ruangan tersebut.

Oleh beliau, dijelaskan maksud kedatangan dan memohon keringanan dari pihak sekolah untuk menerima usulan ciciclan pembayaran uang sumbangan dengan alasan beliau termasuk keluarga miskin dengan penghasilan tidak tetap tetapi beliau masih sanggup untuk melunasi asalkan si bungsu bisa sekolah di tempat itu.

Rupanya penjelasan beliau tidak mendapatkan respon positif dengan alasan bahwa itu adalah aturan sekolah, semua calon siswa harus melunasi kontan, sekolah membutuhkan dana segera untuk biaya pendidikan, dan beliau disarankan untuk membuat kartu miskin ke kelurahan untuk dapat menjadi pertimbangan sekolah untuk menyetujui usulan beliau.

Dengan raut muka memelas dan memohon kepada kepala sekolah tetap saja ditolak dengan alasan yang tersebut diatas sehingga terjadilah argumentasi dan mengarah kepada emosi yang meningkat. Karena saya melihat ada gejala kurang enak akhirnya saya bantu berbicara dengan kepala sekolah tetapi tetap ditolak bahkan cenderung mengecilkan kondisi beliau. Tanpa banyak bicara keluarlah sifat asli premannya beliau, sambil menngebrak meja dikeluarkannya dua buah celurit. Sebuah celurit dilemparkan ke meja kepala sekolah, kemudian beliau mengatakan, “ Silakan bapak ambil celurit itu. Lebih baik kita bunuh-bunuhan aja karena sampeyan bukan manusia. Bapak mau terima usulan saya atau pilih mati. Tahu ngak bapak, saya rela untuk mati demi masa depan anak saya. Orang ingin sekolah kok di halang-halangi dengan aturan yang kaku. Saya tahu UU pak dan bukan orang bodoh. UUD negara ini menjamin kok anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak Saya sanggup bayar kok tetapi tolong mengertilah dengan kondisi kami.”

Begitu kagetnya saya dengan apa yang terjadi di dalam ruangan tersebut. Baru saya ingat waktu di rumah tadi, beliau rupanya masuk kamar sudah berniat membawa celurit dan di selipkan dibelakang bajunya. Wow.!!!

Dalam suasana yang mencekam, dengan wajah yang pucat dan ketakutan, akhirnya kepala sekolah memohon kepada saya untuk mendinginkan dan memegangi beliau. Saya melihat beliau dengan nafas tersengal-sengal dengan wajah emosional sekali dan kembali mengatakan dengan kerasnya (mungkin orang di luar mendengarnya), “ Mau terima atau tidak sampeyan (sambil melemparkan uang cicilan beliau ke meja kepala sekolah)”

Kemudian saya berkata,” Pak Umar, saya mohon untuk sabar dan tidak emosional biar saya yang berbicara” serta menyuruh beliau untuk duduk di sofa. Saya mengatakan kepada kepala sekolah untuk mengerti kondisi kelurga beliau dan menjelaskan tentang prestasi anak beliau di SD sambil menunjukkan nilai-nilai rapornya. Dan saya katakan agar kepala sekolah unuk berempati dan bersimpati dengan kondisi beliau serta merenungkan kembali seandainya bapak kepala sekolah yang mengalami seperti yang dialami Pak Umar.

Kemudian Kepala sekolah menelpon salah satu panitia penerimaan siswa untuk datang ke kantor. Perasaan saya was-was juga jangan-jangan kepala sekolah memanggil stafnya dan membawa polisi ke dalam ruangan. Bisa repot nich. Rupanya yang terjadi tidak demikian dan terdengar suara ketukan pintu serta tampak staf kepala sekolah yang langsung menghadap dan menanyakan maksud pemanggilan kepala sekolah. Kepala sekolah menjelaskan kepada stafnya sambil menunjukkan berkas-berkas dan prestasi puteri Pak Umar serta keinginan Pak Umar untuk mengangsur uang sumbangan sekolah. Setelah berdiskusi sejenak, kemudian Kepala Sekolah memberitahukan kepada kami bahwa puteri Pak Umar bisa diterima menjadi siswa di sekolah tersebut dengan syarat uang sumbangan itu diangsur sebanyak 10 kali dan harus lunas selama 8 bulan.

Setelah mendengar penjelasan kepala sekolah, akhirnya Pak Umar menyetujui usulan tersebut dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan membayar uang sumbangan sekolah. Kemudian kami bersalaman dan pulang ke rumah sambil membawa surat bukti bahwa si bungsu diterima dan dapat mulai masuk sekolah beberapa hari kemudian di sekolah tersebut.

Betapa senangnya si bungsu dan isteri beliau mengetahui bahwa masalah ini sudah selesai. Tetapi dalam perjalanan pulang Pak Umar memohon saya untuk tidak menceritakan apa yang terjadi di sekolah tadi dan menyuruh saya untuk mengakui bahwa sayalah yang membayar sisa kekurangan uang sumbangan sekolah tersebut.
Lantas saya bertanya,” Mengapa Bapak tadi hampir gelap mata dan nyaris membunuh orang”. Beliau menjawab, “Sebenarnya kalau Cech tidak halangi sudah mati tuh orang. Saya ini rela mati Cech demi masa depan anak saya. Saya ini orang bodoh dan hanya lulusan SD jadi saya tidak ingin anak saya bodoh seperti saya. Kalau perlu anak saya sekolah sampai SSS berapa gitu? (maksudnya S1-S3) seperti sampeyan. Inilah jihad saya terhadap keluarga terutama anak-anak saya. Terserah orang mengatakan apa saja tentang diri saya, yang penting anak saya sukses di kemudian hari dan berguna bagi diri dan keluarganya dulu. Orang mau pintar kok dilarang. Dasar Manusia” Subhanallah.

Kemudian saya bertanya dalam hati, apakah ini yang dinamakan jihad? Sebetulnya makna jihad itu apa sih? Apakah jihad kepada keluarga lebih utama dibanding dengan yang lain? Tetapi kembali lagi saya berpikir mungkin ada baiknya juga kita melakukan seperti yang dilakukan oleh Pak Umar kepada orang-orang yang berpikiran sempit, cari untung, korupsi, penampilan baik tetapi berjiwa setan, dan lain-lain.

Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan berpikir kita tentang jihad Terima kasih


NB : Akhirnya Pak Umar berhasil melunasi seluruh angsuran tepat pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar