Rabu, 25 Agustus 2010

Kadang Kala Suatu Yang Tidak Disukai Malah Menjadi Paling Disukai


Ilustrasi (www.diabola.org)


Kalau kita mau sedikit waktu saja untuk merenung dan mengingat perjalanan hidup maka ada beberapa yang membiat kita tertawa sendiri. Hidup ini memang aneh dan sepertinya Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatnya. Tulisan ini saya buat untuk sedikit mengenang perjalanan hidup manusia yang seringkali berhadapan dengan suatu yang tidak disukai malah menjadi suatu yang paling disukai.


Saat pertama kali masuk SMA, saya mendapatkan tawaran beberapa kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Ada salah satu ekstra kurikuler yang mungkin dianggap kurang mendapat perhatian siswa-siswa SMA saat itu yaitu Pencak Silat. Sebelumnya pencak silat saya anggap sebuah bela diri yang tidak modern dan kurang menarik karena lebih banyak gerakan-gerakan menarinya dengan iringan musik tradisional. Kurang macholah, begitu pikiran saya saat itu beda dengan karate, judo, kempo, jiu jitsu dan lain-lain yang berasal dari luar Indonesia.


Tanpa sengaja, saya diajak seorang teman yang kebetulan teman dari SD sampai SMA untuk bergabung pada kegiatan pencak silat di SMA. Nama perguruan pencak silat tersebut adalah Perguruan Silat Perisai Diri (PD). Awalnya saya hanya ikut-ikutan dan sekedar menghormati ajakan teman. Tetapi beberapa kali saya mengikuti kegiatan ini, saya merasakan ada perbedaan yang membuat saya tertarik. Setahu saya, pencak silat selalu memakai pangsi warna hitam tetapi pada PD ini memakai warna putih dengan ban hanya 3 yaitu putih, hitam dan kuning, Selanjutnya setiap tingkatan ban merah dibedakan dengan strip di dada.


Tanpa terasa saya seperti mengalami ekstasi terhadap PD karena banyak memperkenalkan jurus-jurus yang mirip Kung Fu tapi ala Indonesia seperti jurus pendeta, puteri, naga, kuntul, meliwis, dan monyet serta ditambah ajaran pernafasan, Gin Kang dan ilmu kebatinan bila sudah mencapai tingkat pengajar. Di PD inilah saya menemukan ketenangan, pengetahuan tentang sportifitas, kebersamaan, persaudaraan dan pengenalan terhadap budaya bangsa. Disamping itu dengan PD saya bisa berprestasi dengan mengikuti beberapa kejuaraan Silat antar Pelajar se DKI dan terakhir ikut Pra PON mewakili DKI walaupun saya gagal karena tangan saya patah saat bertanding tetapi saya merasa puas dan senang.


Selanjutnya adalah saya tidak pernah menyangka bakal kuliah di Jogja. Lagi pula saya juga tidak menyukai Jogja. Hal ini disebabkan banyaknya informasi yang saya dapat dari beberapa teman orang tua yang mengatakan orang Jogja itu pelit, beraninya omong di belakang (kurang fair layaknya blangkon yang jendolannya di belakang), orangnya ngeyelan alias tidak mau mengalah pokoknya paling benar sendiri. Maaf kalau saya menulis hal-hal yang kurang baik menurut teman-teman orang tua saya. Dan lebih seram lagi di Jogja banyak yang melakukan kumpul kebo (samenleven, benar atau tidak ya tulisannya) diantara mahasiswa dan mahasiswinya. Tidak ada pikiran saya untuk kuliah di Jogja.


Sampai pada suatu saat adik Bapak yang menjadi Dandim di Jogja menelpon bapak untuk memberitahukan adanya satu formulir pendaftaran mahasiswa UGM yang lebih dan mengundang saya untuk tes Sipenmaru di Jogja. Akhirnya Bapak menyuruh saya untuk pergi ke Jogya. Ya sudah akhirnya saya berangkat juga ke Jogja dengan perasaan tidak karuan.
Ada hal unik yang saya lakukan pada saat pengisian formulir Sipenmaru. Karena memang tidak berminat akhirnya saya hanya memilih satu pilihan saja yaitu Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Walaupun formulir sipenmaru saya IPC tetapi saya tetap mengisi satu pilihan. Orang tua saya sampai marah-marah mendengar cerita adik bapak dan sempat mengancam kalau tidak lulus Sipenmaru maka tahun itu saya tidak usah kuliah. Ehhh tidak tahunya malah terpilih dan lolos menjadi mahasiswa UGM. Mau tidak mau saya harus menjalaninya sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada orang tua. Saya pikir daripada tidak kuliah hehehehe.


Tanpa terasa juga malah saya merasa betah dengan suasana Jogja. Di Jogjalah saya mengenal berbagai macam orang dari seluruh Indonesia karena sebagai kota pelajar, Jogja pun merupakan penggambaran Indonesia mini dimana seluruh manusia, nomor kendaraan dan budaya di Indonesia berkumpul sehingga motto Bhinneka Tunggal Ika kental terasa. Di Jogja itulah saya lebih mengenal lagi budaya Jawa yang terkenal luhur dan sikap sopan santun mulai terbentuk dalam pergaulan sehari-hari. Tahu sendirilah pergaulan anak Jakarta yang ingin serba bebas dan urakan sehingga sedikit demi sedikit terjaganya sikap menghormati, menghargai dan berempati terhadap orang lain terbentuk. 

Kalau kata dosen saya, " Orang boleh saja pintar tapi tanpa didukung oleh etika yang baik maka tidak ada gunanya dan tidak akan dihargai oleh orang lain. Sikap diri yang sopan dan santun kepada orang lain akan memberikan efek balik yang baik kepada diri. Orang lain akan menghormati dan menghargai kita " Contoh kecil adalah memanggil nama orang dengan panggilan yang baik seperti Mas, Mbak, Bapak, Ibu dan sebagainya kepada orang yang lebih tua, yang dihormati ataupun orang yang baru dikenal. Di Jogjalah saya mendapatkan hal-hal yang baik dan bekal saya untuk bisa bergaul dengan banyak orang.

Masih banyak hal-hal kecil yang tidak saya sukai malah membuat saya menyukainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Memang Tuhan Maha Mengetahui segala hal dan selalu memberikan yang terbaik untuk umat ciptaanNya. Maka itu saya selalu merenung (tafakur) untuk selalu menjaga pembicaraan walaupun berat tapi saya berusaha untuk menghindari pembicaraan yang menyinggung perasaan orang lain karena takut apa yang saya bicarakan malah berbalik ke diri saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar