Rabu, 25 Agustus 2010

Wajah Tuhan dan Ekspresi Baha


Dalam beberapa bulan ini, baik media cetak maupun media elektronik dipenuhi oleh berita-berita tentang kasus korupsi. Negeri ini dipenuhi oleh polemik dan masing-masing pihak yang berseteru saling beragumen bahwa argumennyalah yang paling benar. Rakyat dibuat bingung oleh banyaknya perang kata-kata. Yang satu menunjukkan bukti dan fakta A. Sedangkan yang lain menunjukkan pula bukti dan fakta B. Sampai pada hal-hal yang sepelepun bisa menjadi sebuah pertentangan bahkan hampir terjadi adu jotos layaknya dua petinju bertarung di ring.



Semuanya bersumpah, semuanya berjanji, semuanya berdalil, semuanya saling lapor ke institusi hukum, semuanya menunjukkan ekspresi tidak bersalah dan yang terakhir adalah semuanya menunjukkan mimik muka menangis dengan uraian air mata sambil membawa-bawa nama Tuhan. Tetapi tetap saja tidak ada penjelasan mana yang salah atau mana yang benar. Semuanya diselesaikan dengan cara kompromi. Memang baik menggunakan cara kompromi karena menggambarkan budaya Indonesia yang mengedepankan cara musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan (apakah saat ini masih diimplementasikan, hanya Tuhan yang tahu). Tetapi yang menjadi persoalan utama adalah ini kasus korupsi yang menyebabkan nilai kerugian yang tidak kecil dan bersinggungan langsung dengan kepentingan dan keadilan seluruh rakyat Indonesia.

Contoh lain yang bersinggungan dengan rakyat kecil mulai dari kasus coklat, kapuk, semangka sampai kasus Prita. Kenapa para pemimpin atau elit-elit kekuasaan tidak segera menggunakan cara berdasarkan azas manfaat dan mudharat. Apakah karena kasus-kasus tersebut tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan pemimpin/elit-elit kekuasaan sehingga tidak perlu menggunakan cara manfaat dan mudharat.

Sebaliknya bila kekuatan hati nurani rakyat yang bergerak bagaikan gelombang tsunami yang siap menelan dan menggulung apa saja yang dilewati barulah pemimpin/elit-elit kekuasaan segera menggunakan azas manfaat dan mudharat dan semuanya seperti koor mengatakan "Demi Rakyat", "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" dan lain-lain. Sungguh ironis, nama Tuhan dipakai dengan mudahnya.

Jadi benar apa yang dikatakan almarhum Baha (seorang pemabuk) dalam sinetron Para Pencari Tuhan, "Allah yg menciptakan wajah, manusialah yang bertanggungjawab atas ekspresinya" Layaknya Allah menciptakan dunia maka manusialah yg bertanggungjawab atas kehidupannya, bila ada bencana dan musibah spt gempa, banjir, kebakaran, dan lain lain berarti manusianya yg bersalah dan harus bertanggung jawab. Da Vinci membuat lukisan Monalisa yg termahsyur sehingga tidak mungkin Da vinci mau merusak atau menghancurkannya kecuali Da Vinci memang sudah bosan dan muak. Bagi Allah sama artinya dgn kiamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar