Kamis, 23 September 2010

Kisah Seorang Preman (III)

Ilustrasi (hickhead.blogspot.com)
Tuhan itu memang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bagi manusia tidak mungkin tapi bagiNya bisa dibuktikan dan dinyatakan. Sekarang tinggal manusialah yang memaknai arti kehidupannya di dunia.

Ternyata isteri melahirkan seorang bayi perempuan. Betapa marahnya saya mendengar kabar tersebut dan ada perasaan tidak menerima. Langsung saja saya masuk ke ruang bersalin dan saya hampiri isteri. Dengan darah dingin saya mencekik isteri (yang terlihat bukan lagi wajah isteri tetapi sosok wanita Madura). Untung saja ibu dan perawat yang ada di ruangan tersebut mencegah dan berhasil menyeret saya ke luar ruangan. Saya marah kepada Tuhan mengapa harus seorang bayi perempuan. Dalam keadaan yang sudah tidak normal maka saya tinggalkan rumah bersalin tersebut dan saya pergi ke tempat lokalisasi untuk mabuk-mabukan bersama teman-teman agar dapat menghilangkan pikiran.

Selama dua hari saya tidak pulang ke rumah. Ketika pulang ke rumah, saya tidak menemui isteri tapi hanya ibu, adik dan bayi perempuan yang saya temui. Rupanya isteri ketakutan dan trauma atas perbuatan saya di rumah sakit bersalin. Dia pergi meninggalkan rumah dan hanya menitipkan bayi perempuannya kepada ibu serta berpesan untuk tidak menemuinya sementara. Ibulah yang memutuskan untuk mengurus bayi perempuan kami tersebut.
Beberapa bulan saya tidak menghiraukan kehadiran anak perempuan tersebut tapi ibu selalu menasehati saya untuk bisa menerima kehadirannya karena anak perempuan tersebut tidak bersalah dan Allah telah menitipkan kepada saya untuk merawatnya di dunia ini. Lama kelamaan hati saya luluh juga dan saya pun mulai memperhatikan dan merawatnya.

Hidup terus berjalan, sementara saya tidak mempunyai pekerjaan tetap kecuali menjadi preman yang penghasilannya diperoleh dari setoran parkir. Sampai suatu hari saya mendapatkan informasi dari Om Anton kalau pemerintah Soeharto akan melakukan operasi besar-besaran terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat. Saya dianjurkan untuk pergi Pontianak sekalian menemui ayah. Benar saja ketika beberapa minggu di Pontianak, saya mendapat kabar bahwa beberapa teman saya ditembak mati oleh penembak misterius (petrus). Mayat-mayat mereka dibuang secara tidak manusiawi. Saya mengucapkan rasa syukur bisa lolos dari pembunuhan petrus.

Di Pontianak, saya tidak langsung menemui ayah tetapi menemui tokoh Madura yang masih adik Kakek saya. Saya diberikan tumpangan hidup oleh beliau. Perlu diketahui adik kakek sangat dihormati oleh kalangan orang Madura dan berkawan akrab dengan tokoh-tokoh Dayak pada saat itu. Saya merasa aman tinggal di sana. Walaupun tanpa adik kakek juga sebenarnya hidup saya di Pontianak tetap aman karena ayah juga mempunyai banyak teman baik dari golongan atas sampai bawah. Tetapi saya tetap pada pendirian dan masih mempunyai dendam kepada ayah sehingga saya enggan untuk menemuinya.

Selama di Pontianak, saya dipekerjalan oleh adik kakek untuk mengurus penagihan pada rekanan koperasi yang didirikan beliau. Koperasi tersebut berkembang pesat dan mempunyai banyak bidang usaha diantaranya perdagangan, perikanan, perkapalan dan simpan pinjam. Beliau banyak memuji saya karena semua pekerjaan yang ditugaskan dapat diselesaikan dengan baik dan jarang sekali terjadinya penunggakan yang dilakukan oleh rekanan koperasi.

Karena prestasi saya tersebut maka adik kakek mempercayakan saya untuk mengurus penagihan wilayah Singkawang. Sebagai orang asing, Singkawang merupakan nama yang asing di telinga dan meraba-raba apa saja yang ada di sana. Ada kejadian unik saat saya mau pindahan ke Singkawang. Saat itu terjadi operasi besar-besaran para preman. Pada operasi tersebut saya terkena razia preman karena alasan sepele yaitu masalah tato. Berulang kali saya menjelaskan kepada polisi kalau saya adalah karyawan koperasi miliki adik kakek dan kawan-kawan. Saat itu nama koperasi tersebut sangat dikenal tapi tetap saja polisi tidak mau mendengar penjelasan saya. Sampai akhirnya saya menelpon adik kakek dan memberitahu kalau saya ditangkap polisi karena terkena razia preman. Beliau mengatakan akan datang ke kantor polisi dengan segera.

Ternyata yang datang ke kantor polisi bukan adik kakek tetapi dua orang tua yang seperti dari suku dayak. Rupanya dua orang dayak tersebut adalah teman adik kakek. Dua orang Dayak yang kelihatan sudah sepuh menemuo komandan polisi dan menjelaskan kalau saya masih keturunan Dayak dan buka preman walaupun bertato. Tapi polisi tidak percaya dan sempat mengatakan kalau tato Dayak berbeda dengan tato yang saya miliki. Rupanya dua orang Dayak tersebut memberitahu kalau tato saya dibuat pada waktu di Jakarta dan teledor tidak mengikuti pakem yang dimiliki oleh budaya Dayak. Akhirnya polisi membebaskan saya sebagai rasa hormat kepada dua orang Dayak tersebut. Rupanya polisi mengetahui kalau dua orang Dayak tersebut adalah sesepuh suku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat tapi saya kurang mengerti dari suku mana mereka berasal.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi maka oleh salah satu sesepuh Dayak mengangkat saya sebagai anak angkat. Sebagai anak angkat suku Dayak, saya diberikan benda semacam pusaka dan tanda khusus di tubuh. Peristiwa tersebut dirayakan secara besar-besaran secara adat dan adik kakek turut menyaksikan serta menangani segala kebutuhan pesta.

Tanpa suatu halangan, tibalah saya di Singkawang. Memang di kota itu saya hanya tinggal selama 2 tahun tapi banyak kenangan yang diperoleh. Salah satunya adalah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan ayah. Ayah berkunjung ke Singkawang setelah mengetahu kabar dari adik kakek. Tidak ada perubahan yang terjadi dengan ayah walaupun sudah lama tidak bertemu. Yang berubah hanyalah ayah sering sakit batuk. Rupanya ayah terkena penyakit paru-paru pneumonia. Tapi sebagai tentara masih tampak gagah.

Tadinya saya tidak mau menemui dan berbicara dengan ayah sebagai bentuk marah dan dendam karena telah menyengsarakan ibu, saya dan adik. Tetapi saat ayah menunjukkan sakitnya di depan wajah saya maka timbul perasaan iba. Ayah sengaja datang mengunjungi Singkawang khusus untuk menemui dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ayah juga bercerita kalau sebentar lagi akan pensiun dan mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya di Pontianak. Rupanya ayah telah mempunyai 3 orang anak laki-laki dari isterinya asal Madura tersebut.

Hampir dua jam, kami berdua berbincang-bincang di sebuah warung pada sebuah pantai di Singkawang. Benci, marah, dendam, rindu, kasihan, sayang, hormat dan perasaan lain bercampur aduk di dalam hati saat ayah banyak cerita tentang perjalanan hidupnya selama ini. Rupanya itulah pertemuan saya yang terakhir dengan ayah. Karena 2 tahun kemudian ayah meninggal dunia akibat penyakit paru-paru akut. Saat meninggal ayah, saya tidak dapat menghadiri pemakaman beliau. Tapi saya masih sempat menziarahi makamnya pada saat saya meninggalkan Kalimantan.

Dari Kalimantan, saya kembali ke Surabaya untuk menemui ibu, adik dan anak perempuanku sekaligus memberitahukan kalau ayah telah meninggal dunia. Tampak wajah sedih meliputi wajah ibu. Walaupun disia-siakan tapi ibu masih menunjukkan rasa cintanya kepada ayah. Ibu memang wanita yang lembut dan sabar walaupun tahu suami dan anaknya mempunyai sifat yang keras dan bisa dikatakan keras kepala.

Selain itu saya juga merasa kangen kepada anak perempuan saya walaupun pada awal kelahirannya sangat tidak diinginkan oleh saya. Tanpa terasa puteri saya makin besar dan telah masuk sekolah dasar kelas satu. Semua ini berkat kasih sayang ibu dalam merawatnya. Memang puteri saya lebih dekat dengan ibu dan selalu menjauh bila saya mendekatinya tapi saya sadar bahwa itu adalah kesalahan saya semata.

Di Surabaya saya mengalami kesulitan mencari kerja. Mau tidak mau saya berkumpul kembali dengan teman-teman preman di lokalisasi. Walaupun tidak menjadi pekerjaan tetap sebagai tukang parkir tapi setidaknya masih dapat memberi makan keluarga di rumah. Sesekali saya berjualan baju dan celana dalam untuk para PSK di lokalisasi. Lumayanlah buat biaya sekolah puteri saya. Saya berusaha untuk mensyukuri semuanya.

Pada suatu hari saya dapat objekan dari seorang teman yang berasal dari sebuah partai yaitu mengumpulkan massa untuk melakukan demo pada sebuah Kongres Partai Politik di Bali. Tanpa berpikir panjang saya terima objekan tersebut. Saya berhasil mengumpulkan massa mencapai 800 orang dan semuanya berhasil diturunkan di Bali walaupun sempat ketar ketir melihat tindakan represif petugas keamanan pada saat itu (orde baru). Dengan kehadiran massa tersebut dapat menekan pimpinan partai yang menurut kabar didukung oleh pemerintah memenuhi keinginan lawan politik se partainya.

Karena keberhasilan usaha saya mengumpulkan massa maka nama saya makin dikenal oleh para tokoh partai politik yang menentang kongres di Bali. Jasa saya juga dipercaya pada saat ada Kongres Luar Biasa di Medan. Lama kelamaan saya makin dalam bergaul dengan tokoh-tokoh politik baik tingkat daerah maupun pusat. Sebagai pecinta Bung Karno sudah sewajarnya saya mendukung segala aktifitas dan program yang diusung oleh anaknya. Tanpa berpikir panjang akhirnya saya bergabung dan menjadi anggota partai politik tersebut walaupun tidak diakui oleh pemerintah. Dari aktifitas partai politik inilah saya bertemu dengan seorang wanita yang beranak 2 yang kebetulan sering membantu masak di kediaman ketua partai politik. Kemudian kami menikah dan mendapatkan seorang anak laki-laki.

Pergumulan saya di dalam partai politik tersebut mencapai puncak pada saat 27 Juli 1996. Saya termasuk dalam golongan yang menentang perebutan kantor partai politik di jalan Diponegoro. Saya pun turut berperang melawan pendukung partai politik yang diakui pemerintah orde baru. Dengan keterbatasan alat dan prasarana yang ada kami melawan tindakan arogan mereka yang didukung oleh tentara. Walaupun pada akhirnya kami menyerah juga dan ditangkap oleh aparat. Dengan proses pengadilan yang kilat, saya dan teman-teman seperjuangan divonis bersalah dan di penjara selama 3 tahun. Penjara Cipinang menjadi labuhan hidup saya kembali. Dan saya tidak pernah menyesali atas apa yang telah saya lakukan demi sebuah kebenaran. Selama ini saya menemukan kebenaran menurut versi pribadi tapi saat saya meyakininya sebagai kebenaran melawan pemerintah otoriter dan tiran.

Hanya satu setengah tahun saya di dalam penjara. Beberapa bulan kemudian terjadilah reformasi dengan jatuhnya pemerintahan orde baru. Sebagai pendukung partai politik yang berdasarkan ajara Bung Karno, saya merasa bahwa inilah saat partai saya untuk memenangkan pemilu. Dengan segala upaya dan pengorbanan apapun saya berikan demi kemenangan partai saya dalam pemilu tahun 1999. Akhirnya partai saya memenangkan pemilu walaupun ketua partai saya gagal menjadi pimpinan nasional. Tapi tetap saja saya merasakan kepuasaan yang terhingga selama hidup di dunia.

Aktifitas kepartaian terus saya jalani walaupun dalam perjalanannya saya merasakan adanya ketidak adilan dan kemunafikan dari para pimpinan partai baik di pusat maupun daerah. Sebagai pendukung setia partai maka saya terus mengikuti kegiatan partai walaupun secara ekonomi saya tidak mendapatkan apa-apa bahkan kekurangan.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saya melakukan kerja serabutan mulai dari tukang cat, membuat bingkai foto sampai menjadi decbt collector secara freelance. Berulang kali adik menasehati untuk meninggalkan aktifitas partai dan bekerja di perusahaan miliknya. Pokoknya adik sanggup menggaji saya berapapun tanpa saya harus masuk kerja sebagaimana layaknya orang bekerja. Semua itu tidak pernah saya hiraukan dan tetap saja saya bertahan pada prinsip hidup dan meyakini partai adalah mati hidup saya.

Tetapi apa yang saya yakini hanyalah sebuah fatamorgana dan banyak kebrengsekan yang saya rasakan, lihat dan dengar di dalam partai. Akhirnya saya memutuskan untuk mengurangi aktifitas partai dan mulai mencari tempat atau orang-orang yang dapat membuat hati saya tenang dan menemukan arti sebuah kehidupan.

Suatu hari saya diajak teman berkunjung ke sebuah padepokan di Panimbang, Pandeglang yang dipimpin oleh seorang sepuh. Konon menurut apa yang saya ketahui sesepuh ini masih termasuk karuhun orang Sunda. Ternyata banyak sekali orang yang datang ke padepokan tersebut. Sesepuh ini memang susah untuk ditemui, tapi saya tidak mengalami kesusahan untuk menemuinya. Dari awal bertemu beliau saya merasakan adanya kecocokan dan seperti menemukan apa yang saya cari selama ini. Tanpa terasa perkenalan saya dengan sesepuh tersebut telah mendekati waktu 4 tahun.

Dari sesepuh itulah saya dapat berkenalan dengan sesepuh-sesepuh yang ada di tanah Jawa walaupun kebanyakan dari Sunda. Sampai suatu hari saya diajak jalan-jalan ke Sumedang untuk bersilaturahim dengan sesepuh Sumedang. Oleh sesepuh Panimbang saya disuruh menetap di Sumedang selama 3 bulan. Saya tidak tahu alasan beliau untuk menetap di Sumedang tapi saya menuruti apa yang diperintahkan beliau.

Nah di Sumedang inilah saya bertemu dengan seorang pemuda yang sama-sama menetap selama 3 bulan. Kebetulan kami tidur dalam satu kamar. Akibatnya kami berdua makin akrab walaupun awalnya saya sempat kaget dan takjub ketika melihat perubahan wujud saat melihat wajahnya. Wajahnya sering menampakan wujud seorang kyai, pendeta jaman dulu, macan sampai wujud seorang perempuan berpakaian kerajaan jaman dulu (kayak seorang Ratu).

Memang selama 3 bulan saya dan pemuda tersebut tidak diajarkan apapun kecuali diajak jalan-jalan mulai dari masuk hutan sampai keluar kota dengan menggunakan kendaraan umum. Tetapi dari jalan-jalan tersebut saya menemukan kepuasan batin dan menyadari apa yang saya lakukan selama ini adalah perbuatan dosa walaupun sulit untuk menghilangkan sifat-sifat buruk karena dari kecil kehidupan saya dekat dengan kekerasan.

Herannya anak muda tersebut mengerti dan sabar menghadapi kelakuan saya. Sampai suatu hari anak muda tersebut mengatakan kalau inilah saatnya saya meninggalkan aktifitas partai selama-lamanya karena tidak memberikan manfaat apapun bagi diri sendiri maupun keluarga. Saya mendengarkan dengan seksama perkataannya. Akibat perkataannya, saya memutuskan untuk meninggalkan dunia partai politik dan mulai mencari nafkah dengan pekerjaan apapun yang halal. Memang sulit dan sesekali sempat terpengaruh oleh bujukan teman-teman preman. Yang herannya selalu saja anak muda tersebut mengingatkan saya. Itulah mengapa saya menghormatinya dan tetap menjaga silaturahim antar keluarga dengan saling mengunjungi dan bercerita banyak hal.

Begitulah cerita Pak Ci tentang kehidupannya selama ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat dan memberikan hikmah bagi yang membacanya.

Kisah Seorang Preman (II)

Ilustrasi (www.erichufschmid.net)

Memang hidup ini penuh dengan kejutan dan keberuntungan. Itulah yang saya alami ketika harus berhadapan dengan oknum angkatan yang sering berbuat onar di lokalisasi Dolly.

Pada saat oknum tersebut melakukan aksinya, tidak ada yang berani menegurnya termasuk para preman sekalipun. Dengan kenekatan yang ada dalam diri walaupun tubuh kecil (saat itu berumur 14 tahun), saya memberanikan diri menegur oknum yang sedang mabuk berat. Betapa kagetnya oknum tersebut ketika mengetahui kalau yang menegurnya adalah seorang anak kecil. Bila dibandingkan dengan postur tubuhnya, saya tidak ada apa-apanya. Oknum tersebut dengan mata merah tampak marah sekali kepada saya dan segeralah dia menghampiri. Saat tangan kanan kekarnya ingin memukul saya. Tiba-tiba saya memanggil namanya " Om Anton (bukan nama sebenarnya) !!!!!! ".

Betapa kagetnya oknum tersebut ketika namanya dipanggil oleh saya. Secara reflek tangannya tidak jadi memukul saya.

" Siapa kamu ? Kok tahu nama saya "

" Om, masak lupa sama saya "

" Ohhhh kamu... kamu... anaknya..... "

" Iya Om saya anaknya Pak Suparlan (bukan nama sebenarnya) "

" Oalahhhhhh, hampir saja ...ngapain kamu disini "

Perlu diketahui Om Anton adalah anak buah Ayah sewaktu dinas di Surabaya. Dulu Om Anton sering datang ke rumah dan selalu minta nasehat kepada ayah bila mendapatkan masalah. Ayah jugalah yang mewakili Om Anton untuk melamar calon isterinya dihadapan keluarga besar calon isterinya dulu karena sudah lama Om Anton yatim piatu dan hidup sebatang kara.

Langsung Om Anton mengajak saya ke sebuah warung. Om Anton dengan kondisi masih mabuk tapi masih sadar menanyakan banyak hal terutama mengapa saya bisa berada di lingkungan lokalisasi. Maka saya menceritakan semuanya dengan detil mulai dari keluar rumah sampai saya menjadi tukang parkir dan ingin menjadi preman. Om Anton sempat memilintir leher saya dengan candanya. Kok bisa-bisanya saya yang masih sekecil itu sudah berani untuk mandiri. Om Anton sempat prihatin ketika mengetahui kalau ayah meninggalkan kami sekeluarga demi seorang wanita madura di Kalimantan. Tetapi saya sempat juga menyinggung ulah Om Anton di lokalisasi yang sangat menggangu dan apa yang menyebabkan Om Anton sering ke lokalisasi.

Rupanya Om Anton sudah bercerai dengan isterinya. Dikatakan isterinya telah kabur dari rumah dan membawa serta 2 anaknya kembali ke rumah orang tuanya di Malang. Setelah berpisah hampir setahun tiba-tiba Om Anton mendapatkan surat cerai dari Pengadilan Agama Malang (pernikahan mereka memang di Malang). Walaupun dalam hatinya menolak perceraian tersebut tetapi Om Anton menerima juga keputusan tersebut. Tapi yang menjadi masalah adalah Om Anton tidak bisa dan selalu dihalang-halangi bila ingin bertemu dengan kedua anaknya. Itulah yang membuat Om Anton menjadi stress berat dan sebagai pelariannya adalah main perempuan dan mabuk-mabukan walaupun tahu konsekunsinya bila ketangkap basah oleh Polisi Militer.

Banyak orang di lokalisasi merasa kaget, aneh, kagum dan takjub melihat saya dapat menaklukkan oknum angkatan malah saat itu saya ditraktir oleh oknum tersebut. Memang hidup ini penuh kejutan dan benar adanya kalau ada yang mengatakan kalau dunia ini tidak sebesar daun kelor.

Sejak kejadian malam itu, saya langsung terkenal dan diakui keberadaan saya di lingkungan preman. Dengan pengakuan tersebut berarti wilayah parkiran saya makin luas dan makin bertambahlah penghasilan saya. Dalam waktu singkat saya mempunyai uang banyak dan dengan uang tersebut saya bisa membantu biaya sekolah adik serta bisa membelikan pakaian dan perhiasan untukk ibu. Memang ibu mengetahui apa pekerjaan saya berdasarkan informasi yang diberikan oleh Om Anton. Tetapi ibu tahu sifat saya yang keras dan tidak bisa dibantah. Satu hal lagi Om Anton tidak lagi berbuat onar karena mungkin malu dilihat oleh saya malah Om Anton menjadi beking saya di tempat lokalisasi tersebut.

Tanpa terasa waktu terus berjalan, hidup saya bergumul dengan dunia preman. Silih berganti peristiwa yang saya alami mulai dari perkelahian memperebutkan lahan parkiran sampai urusan keamanan bagi para PSK. Sampai suatu hari saya berhadapan dengan sekelompok preman yang dibeking oleh oknum marinir mengenai perebutan lahan parkiran.

Setelah tidak ada kata sepakat dengan gelap mata saya mendatangi markas kelompok preman tersebut dan tanpa banyak tanya saya tusuk oknum marinir tersebut dengan belati yang selalu saya selipkan di balik celana. Betapa kaget kelompok preman tersebut (semuanya terdiam) dengan apa yang saya lakukan apalagi mengetahui oknum marinir tersebut mati ditangan saya. Setelah itu saya menyerahkan diri ke kantor polisi. Akhirnya saya diputuskan bersalah oleh pengadilan negeri dan dihukum penjara selama 10 tahun. Yang meringankan hukuman adalah saya menyerahkan diri. Di penjara itulah saya mengenal tato dan beberapa bagian tubuh saya ditato sebagai bukti mantan bromocorah.

Karena sikap saya selama penjara dianggap baik maka beberapa kali saya mendapatkan remisi dan hanya 6 tahun saya di penjara. Keluar dari penjara saya tidak langsung pulang menemui ibu tapi saya datangi tempat lokalisasi Dolly. Semua teman-teman preman menyambut saya dengan meriah dan tanpa perasaan takut akan adanya dendam dari keluarga/teman oknum marinir yang saya bunuh maka saya menikmati penyambutan tersebut dengan mabuk-mabukan. Ternyata setelah 6 tahun saya tinggalkan tempat tersebut, banyak yang telah berubah dan penguasaan wilayah bukan lagi dikuasai oleh kepala preman yang lama. Walaupun demikian saya masih disegani oleh preman-preman tersebut.

Akhirnya saya memutuskan untuk istirahat dari dunia preman. Tetapi tetap saja dendam pribadi terhadap kelakuan ayah tidak bisa hilang. Setiap wanita Madura yang ditemui selalu saya akali baik merampas keperawanannya, meloroti hartanya sampai beberapa kali saya nikahkan. Kawin cerai dengan wanita Madura selalu menyertai hidup saya.

Sampai suatu hari saya berkenalan dengan seorang wanita Madura dan saya jatuh cinta kepadanya. Kemudian tanpa halangan saya dapat menikahinya. Saya berpikir mungkin inilah perjalanan akhir kehidupan kawin cerai saya. Dengan wanita ini saya dikarunia seorang puteri. Tapi kelahiran puteri saya inilah yang meyebabkan isteri kabur dan menceraikan saya.

Begini ceritanya, sebagai manusia saya percaya sekali dengan hukum karma. Ada perasaan takut kalau anak saya nanti mendapatkan karma atas apa yang saya perbuat. Untuk itulah saya sempat berbicara dengan ibu dan berharap saya mendapatkan seorang putra. Saya menganggap anak lelaki lebih tahan dan kuat menerima apabila hukum karma benar-benar terjadi. Dan tidak rela bila anak perempuan saya dirusak dan dipermainkan oleh laki-laki karena saya merasa perempuan takkan sanggup menderita menanggung karma yang saya takutkan tersebut.

Tahukah apa yang terjadi kemudian ?

(bersambung)

Kisah Seorang Preman (I)

Ilustrasi Preman (www.wonosari.com)

Saya biasa memanggilnya Pak Ci. Panggilan tersebut terlontar saja dari mulut saya karena terasa pas didengar dan cocok bila melihat perawakan beliau yang sudah memasuki umur 50 tahun. Dengan rambut yang sudah memutih, tubuh tegap, berewokan dan tubuh penuh tato maka orang akan berpikir macam-macam tentang beliau. Sepanjang hidupnya beliau selalu dekat dengan dunia preman tapi beberapa tahun ini aktifitasnya sudah mulai berkurang.

Hampir 6 tahun saya berkenalan dengan beliau. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari kehidupan beliau walaupun awalnya menjaga jarak dan kuatir karena hampir selalu berdekatan dengan dunia kekerasan. Tetapi lama kelamaan saya merasa kehidupan beliau sama saja dengan kehidupan orang-orang pada umumnya.

Kemarin beliau berkunjung ke rumah saya. Ada beberapa kisah kehidupan beliau yang menarik perhatian saya. Beliau menceritakan awal-awal perkenalannya dengan dunia preman. Berikut adalah pengakuannya.

Sejak kecil saya telah kehilangan figur seorang ayah. Ayah saya, seorang tentara yang selalu meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama karena tugas kemana-mana. Saat saya duduk di sekolah dasar kelas 3, ayah tidak pernah lagi pulang ke rumah kami di Surabaya. Ternyata baru saya mengetahuinya setelah ibu bercerita kalau ayah telah menikah lagi dengan wanita asal Madura pada saat dinas di Kalimantan Barat. Sejak itu ayah tidak pernah memberikan nafkah kepada kami dan timbullah rasa dendam saya terhadap wanita-wanita Madura walaupun sebetulnya saya masih keturunan Madura (kakek dari Bapak berasal dari Madura)

Akhirnya ibu memutuskan untuk kembali tinggal di rumah warisan orang tuanya. Tetapi masalahnya adalah di rumah itu tinggal beberapa keluarga (adik-adik ibu) sehingga kami hanya menempati sebuah kamar kecil yang posisinya persis di belakang rumah. Walaupun ibu merupakan anak sulung tetapi ibu selalu mengalah dengan alasan untuk menghindari terjadinya keributan di dalam keluarga besar. Sayangnya adik-adik ibu tidak pernah mau mengerti dan selalu merasa sebagai yang punya hak atas rumah warisan tersebut. Memang rumah warisan tersebut besar sekali yaitu rumah tua peninggalan jaman Belanda yang kokoh dengan banyak kamar.

Di Sekolah saya selalu merasa iri bila melihat sepupu dan teman-teman jajan di sekolah. Sementara saya hanya diam dan menahan lapar saat istirahat sekolah karena ibu tidak bisa memberikan uang jajan. Apalagi pada saat pelajaran olah raga, setelah selesai olahraga teman-teman bisa jajan di kantin untuk membeli minuman ringan. Sementara saya hanya bisa minum air keran untuk melepaskan dahaga. Hal itulah yang membuat saya dendam dan berkata dalam hati kalau saya harus punya uang dan bosan menjadi orang miskin.

Suatu hari saya melihat ibu menangis di dalam kamar sewaktu saya pulang sekolah. Ada apakah gerangan pikir saya. Setelah saya bertanya kepada adik, saya mengetahui kalau ibu habis dimarahi habis-habisan oleh paman karena adik berkelahi dengan anak paman dan menyebabkan hidung anak paman berdarah. Paman mengancam akan mengusir dari rumah warisan tersebut apabila ibu tidak bisa mendidik adik. Padahal menurut pengakuan adik diketahui kalau anak paman selalu membuat ulah dan mengambil barang-barang milik adik.

Kejadian tersebut membuat dendam saya menjadi-jadi, akhirnya saya menemui ibu di dalam kamarnya dan langsung saya mencium kakinya sambil berkata, " Bu, mulai saat ini saya akan keluar rumah. Bila Ibu tidak menyetujui maka saya ikhlas bila ibu tidak mengakui saya sebagai anak ibu karena pembangkangan saya. Tapi saya tetap akan berkunjung ke rumah ini untuk menemui ibu untuk meminta doa restu ibu "

Sejak saat itu saya meninggalkan rumah dan memantapkan diri untuk mandiri. Waktu itu saya berumur 12 tahun dan sempat merasa takut dan kuatir tentang apa yang terjadi dengan diri saya. Apa sich yang biosa dilakukan oleh anak berumur tersebut. Tetapi tekad tetaplah tekad. Tanpa diduga saya bertemu dengan teman ayah. Beliau bekerja sebagai tukang parkir di lokalisasi Dolly Surabaya. Dengan sedikit memelas, saya meminta kepada beliau untuk bisa bekerja sebagai tukang parkir kepada beliau. Walaupun sempat menolak, akhir beliau memberikan pekerjaan tersebut di salah satu tempat di lokalisasi tersebut.

Selama 2 tahun saya mencari uang sebagai tukang parkir. Menurut saya lumayanlah karena saya punya penghasilan dan bisa membantu biaya sekolah adik walaupun tidak seberapa bantuan saya tersebut. Sampai suatu saat saya berkenalan dengan kepala preman di lokalisasi Dolly. Saya sempat menyatakan ingin bergabung dengan kumpulan mereka tetapi selalu ditolak dengan alasan saya masih kecil. Tetapi saya tidak pantang menyerah. Sesekali saya memperhatikan cara kerja para preman.

Ada satu peristiwa yang membuat perjalanan hidup saya berubah. Ada langganan PSK di lokalisasi yang berbuat ulah yaitu saat mabuk merusak barang-barang dan selalu tidak mau bayar setelah menggunakan layanan PSK. Tidak ada yang berani menegur langganan tersebut termasuk para preman. Ternyata pelanggan tersebut adalah oknum angkatan. Kepala preman sempat dibuat pusing dibuatnya. Tidak tahu ada jin apa yang masuk ke diri saya akhinya saya memberanikan diri bicara dengan kepala preman dan sanggup menangani pelanggan tersebut.

Seluruh preman menertawakan saya. Anak kecil seperti saya sok belagu mau melawan pelanggan tersebut. Apa saya tidak takut mati. Saya anggap angin lalu tertawaan mereka dan yakin sanggup menangani ulah pelanggan tersebut. Kepala preman sempat merasa heran dan kaget apakah saya bisa. Saya katakan bisa asal dengan cara saya. Akhirnya kepala preman menyetujui dan berjanji kalau ini berhasil maka saya boleh menjadi anggota preman dan diberikan jatah lahan. Saya bilang ok kepadanya.

Seminggu terus berlalu tetapi tidak ada tindakan apapun terhadap oknum angkatan tersebut. Kepala preman mulai meragukan kemampuan saya. Tepat 10 hari, saya berhasil menaklukkan oknum tersebut. Bagaimanakah caranya ?
(bersambung)

Rabu, 22 September 2010

Kisah Seorang Pengelana (III)

" Kenapa saya harus pulang Eyang ? "

" Ya itulah penyempurna dirimu. Bagaimana ? "

" Kalau itu yang terbaik untuk saya. Saya siap untuk menjalankannya "

" Tapi ada satu syarat anakku "

" Apalagi Eyang ? "

" Kamu boleh pulang setelah tidak memiliki apa-apa. "

" Khan memang saya sudah tidak punya apa-apa lagi Yang "

" Benar tapi ingat selama perjalananmu apabila ada orang yang iba kepadamu dan memberikan sejumlah uang maka uang tersebut harus kamu berikan kepada orang yang membutuhkan terutama fakir miskin, anak yatim piatu dan kaum pengemis yang benar-benar pengemis. Kecuali mereka memberikan makanan. Itu boleh kamu nikmati. "

" Kenapa harus begitu ? "

" Ingat ! Kamu tidak boleh tanya-tanya. Jalankan saja "

" Baik Eyang. Saya siap menjalankannya. "

" Sekarang kamu boleh pulang dan lakukan apa yang saya perintahkan "

Setelah itu Eyang Jenggot Putih segera menghilang dari hadapanku. Sebenarnya aku belum ingin pulang tapi perintah Eyang harus saya jalankan demi sebuah penyempurnaan jati diri.

Akhirnya aku berjalan pulang dengan berjalan kaki. Selama perjalanan banyak hal yang aku temui. Seperti yang Eyang katakan ternyata lebih banyak orang yang memberikan aku sejumlah uang. Akibatnya aku harus mencari orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Herannya uang yang diberikan kepadaku tidak pernah habis-habis. Setiap aku memberikan uang kepada fakir miskin maka dalam waktu singkat ada saja orang yang memberikan aku uang yang jumlahnya dua kali lipat dari apa yang telah kuberikan sebelumnya. Kalau sudah begini, kapan aku bisa pulang.

Tetapi aku tidak putus asa dan terus kulakukan apa yang diamanahkan oleh Eyang. Tanpa terasa waktu terus berjalan dan sudah 3 bulan aku berjalan dari satu kota ke kota yang lain. Sementara di kantong celanaku telah terkumpul banyak uang yang sepertinya tidak pernah habis-habis. Banyak orang yang kaget melihat kelakuanku, kok bisa orang dengan penampilan seperti gelandangan atau orang gila bisa memberikan bantuan kepada fakir miskin. Mungkin inilah kebesaran Allah SWT yang ingin ditunjukkan oleh Eyang Jenggot Putih kepada diriku. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Suatu hari aku duduk di bawah pohon dekat alun-alun sebuah kota di Jawa Barat. Sungguh nikmat semilir angin yang berhembus ke arahku. Serasa surga datang menghampiriku. Keletihan yang teramat sangat di tubuhku terobati. Iseng-iseng aku melihat dan menghitung jumlah uang pemberian orang-orang yang merasa kasihan kepadaku sepanjang perjalanan. Ternyata jumlahnya mencapai Rp. 749.500. Wao banyak sekali jumlahnya. Padahal aku telah memberikan uang yang tidak sedikit juga kepada kaum yang membutuhkan.Tapi aku tidak boleh memakainya untuk urtusan apapun termasuk makan dan minum.

Tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki menghampiriku dan memberikan sebungkus nasi dan air putih. Sungguh baik sekali anak kecil tersebut. Rupanya anak kecil tersebut adalah anak seorang ibu penjual kopi dan teh di alun-alun tersebut. Kulihat ibunya dan tersenyum kepadanya. Ibu tersebut membalas tersenyum sambil memberi tanda agar aku mau menerima dan memakannya. Langsung saja kusambut tawarannya. Kubuka nasi bungkus tersebut. Ternyata nasi rames berisi gulai telur dan sepotong daging ayam. Surga apalagi yang telah diberikan Allah kepadaku. Dengan lahapnya kuhabiskan nasi ramesnya.

Kemudian kudatangi warung ibu tersebut, kulihat ibu dan anaknjya sedang makan. Sebungkus nasi untuk berdua. Baru kutersadar rupanya nasi yang diberikan kepadaku adalah jatah nasi untuk anaknya. Air mataku keluar dengan sendirinya. Sungguh malu aku menerimanya tadi.

" Terima kasih Bu tapi itu khan jatah nasi anak ibu "

" Sudahlah Mas. Saya tahu Mas lebih membutuhkan dan saya ikhlas memberikannya. "
" Tapi bu "

Ibu tersebut memberi tanda agar aku tidak perlu berkata-kata lagi. Padahal aku tahu berapa besar penghasilan sehari-hari ibu tersebut. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu aku punya banyak uang tapi tidak boleh dipakai untuk urusan yang lain terutama untuk membantu ibu tersebut.

Karena hari sudah hampir malam maka kuputuskan untuk menginap semalam di tempat tersebut. Sesekali kuperhatikan warung ibu tersebut. Tapi aku sudah keletihan akhir akupun tertidur pulas. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh seseorang. Ohhh ternyata anak kecil dan ibunya sudah duduk di sebelahku.

" Mas...mas..bangun "

" Ya...ya.. ada apa ? Oh ibu "

" Ya saya dan anak saya. Maafkan saya mengganggu tidur Mas "

" Tidak apa-apa. Ada apa Bu ? "

Ibu itu mengeluarkan sesuatu dari kantungnya sambil tersenyum gembira. Rupanya segepok uang.

" Maksudnya apa Bu ? "

" Alhamdulillah Mas tadi ada orang yang datang mampir ke warung saya. Setelah lama di warung sambil memesan kopi dan mi rebus, tiba-tiba orang tersebut memberikan uang ini. Saya pikir dia bercanda, ternyata dia serius memberikannya "

" Alhamdulillah, kalau Allah sudah berkehendak maka terjadilah Bu "

" Tapi Mas ... "

" Tapi apa ? "

" Kata orang tersebut, uang ini diberikan kepada saya atas perintah Mas "

" Ahhhh masa sich Bu. Ibu bercanda ya "

" Tidak... ibu tidak bercanda Mas. Terima kasih ya Mas "

" Nanti dulu Bu. Masa orang seperti saya bisa memberikan uang sebesar itu. Padahal untuk makan saja saya butuh belas kasihan orang seperti yang ibu lakukan tadi siang. "

" Pokoknya saya tidak mau tahu. Terima kasih sekali lagi Mas "

Aku makin bingung dan tidak tahu apa maksud dari kejadian ini. Karena tidak menemukan jawaban dan menghindari rasa kecewa dari ibu tersebut maka aku mengiyakan saja apa yang dituturkan ibu tersebut. Ya Allah, tanda-tanda apalagi yang telah Engkau turunkan. Berkahmu tiada ternilai harganya. Tanpa terasa hari sudah pagi dan aku harus melanjutkan perjalanan lagi.

Rupanya sudah hampir 8 bulan aku berjalan tapi tidak kunjung sampai ke rumah. Hampir frustasi aku dibuatnya karena uang pemberian orang kepadaku makin lama makin banyak. Aku menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba terdengar suara khas Eyang di telingaku.

" Anakku jangalah kau berputus asa. Teruskan perjalananmu, kau akan menemukan jalannya "

Hanya suara itu yang terdengar dan kembali aku meneruskan perjalanan. Seharian aku berjalan tapi belum seorangpun aku menemui orang-orang yang berhak menerima uang yang kusimpan. Akhirnya aku duduk di dekat sebuah warung kaki lima di pinggir jalan. Tampak seorang pak tua datang menghampiriku. Dari penampilannya sungguh mengenaskan nasibnya, langsung aku berpikir apakah pak tua ini orang pantas untuk kuberikan uang. Benar saja, orang tua tersebut meminta uang kepadaku. Apakah tidak salah pikirku. Biasanya tanpa diminta aku langsung memberikan.

" Mas minta uangnya mas. Sudah tiga hari saya tidak makan "

Aku perhatikan dengan seksama bapak tua tersebut. Tanpa pikir panjang kuberikan sejumlah uang yang mungkin cukup untuk makan selama seminggu. Anehnya setelah itu datang beberapa orang yang penampilannya lebih mengenaskan lagi dibandingkan bapak tua yang pertama. Kuberikan lagi uang kepada mereka. Tanpa terasa sudah banyak orang yang datang meminta uang yang aku simpan. Uniknya aku tidak perlu berjalan kemana-mana tapi hanya duduk di situ dan sudah banyak fakir miskin, pengemis, gelandangan, anak yatim piatu dan lain-lain datang kepadaku. Apakah ini bukti nyata yang dikatakan oleh Eyang.

Akhirnya baru menjelang dini hari, uang yang kusimpan selama ini sudah habis kuberikan. Alhamdulillah kuucapkan dalam hati. Tapi masalahnya adalah aku tidak punya uang dan pada malam itu tidak ada seorangpun yang memberikan aku makan. Sungguh lapar perut ini karena seharian aku tidak makan. Tanpa sadar aku pun tertidur.

Keesokan paginya, aku bangun dan kaget karena Eyang sudah berdiri dihadapanku. Kemudian eyang memberikan sebungkus daun pisang yang berisi nasi sekepal kepadaku. Eyang menyuruhku untuk membawanya dan melarang untuk memakannya selapar apapun diriku selama perjalanan. Sekepal nasi berbungkus daun pisang tersebut boleh makan setelah aku bertemu dengan kedua orang tuaku dan meminum air basuhan kaki orang tuaku di rumah.

Betapa gembira hati ini kalau inilah akhir dari segala ujian yang harus aku jalani. Tetapi tetap saja tidak mudah. Selama 3 hari aku berjalan pulang dan barulah sampai di rumah. Betapa kaget kedua orangtuaku melihat kondisiku. Pakaian kumel, penampilan seperti gelandangan, bau badan yang menyengat dan tanpa alas kaki. Tetapi kedua orang tuaku tidak menghiraukan dan memelukku erat-erat. Karena aku ingat pesan eyang tanpa banyak waktu langsung kuambil air di ember. Kemudian kubasuhkan kedua kaki orangtuaku dan meminumnya. Aku memohon ampun kepada mereka atas segala dosaku selama ini dan minta doa restu agar hidupku menjadi sempurna sehingga segala cita-citaku tercapai serta menemukan pasangan hidup yang baik dan haq untukku. Setelah itu aku makan nasi pemberian eyang dengan lahapnya. Anehnya nasi tersebut tidak basi atau mengeras. Yang kurasakan justru seperti nasi baru masak dan pulen sekali. Sungguh aku menikmati nasi tersebut. Apakah ini penyempurna diri untuk mengarungi kehidupan dunia ke depannya ?

Tiba-tiba suara Eyang bergema di telingaku.

" Anakku, sempurnalah dirimu dengan segala apa yang kau miliki. Ingat semua peristiwa yang telah kau lalui. Itulah perjalanan spiritual yang menjadi pelajaran buatmu sehingga kamu menjadi manusia yang tawadhu, qana'a, wara dan tuma'ninah. Ingatlah kuncinya adalah istiqomah, istiqomah dan istiqomah. "

Kemudian hilanglah suara Eyang Jenggot Putih yang selama ini menjadi Syekh bagi diriku. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah menurunkan seorang Guru Sejati. Itulah kisah perjalanan panjang seorang pengelana. Semoga kita mendapatkan manfaat dari kisah ini.


pengembarajiwa.wordpress.com

Kisah Seorang Pengelana (II)


Ilustrasi (kariyan.wordpress.com)
Semalaman aku hanya bisa duduk dan berdiri. Setiap aku ingin pindah, tiba-tiba ada suara yang memperingatkanku. Suaranya persis dengan Eyang berjenggot putih. Uhhh sungguh menyebalkan dan membosankan.

Tanpa terasa subuh tiba, terdengar suara azan di mesjid dekat pasar. Ada beberapa orang yang selalu memperhatikan aku setiap melewati tempat pembuangan sampah. Aku hanya diam membisu dan pura-pura tidak tahu dengan tatapan mereka kepadaku. Beberapa kali aku mendengar sumpah serapah dan suara nyinyir dari orang-orang tersebut tapi aku berusaha untuk tidak menghiraukan.

Seiring berjalannya waktu tanpa terasa matahari mulai menampakkan wajahnya, mulai banyak orang yang hilir mudik di hadapanku dengan segala aktifitasnya.

" Hei, kamu "
 Aku menolehnya dan hanya terdiam sesuai dengan pesan eyang.

" Hei kamu ya kamu. Kok kamu diam saja. Ngapain kamu disini. "
 Aku masih terus berusaha untuk diam.

" Wah dasar orang gila !!! Ditanya kok diammmm saja. "
 Sungguh aku kaget dan ingin marah ketika orang tersebut meludai mukaku. Tiba-tiba ada suara Eyang terdengar jelas di telingaku.

" Sabar anakku. Sabarr. Katanya kau ingin mengenal siapa kamu "

Emosiku langsung turun drastis. Aku berusaha menenangkan diri Wao, pagi-pagi aku sudah mendapat sebuah hinaan. Hari pertama yang amat sangat berat. Kujalani hidup dengan segala hinaan dan cercaan dari orang lain. Belum lagi bau sampah yang menyengat dan membuat kepalaku menjadi pusing. Selain itu aku menahan malu karena aku sudah tidak mampu lagi menahan kencing sehingga tanpa kusadari sudah ngompol di celana karena seharian aku tidak bisa kemana-mana dan bergerakpun tidak bisa. Cobaan berikutnya adalah menahan lapar dan buang air besar. Sungguh menyiksa.

Waktu terus berjalan, Eyang Jenggot Putih yang kutunggu-tunggu tidak memberikan tanda-tanda kedatangannya. Demi janjiki kepadanya maka ku bersikap pasrah dan menerima nasib dihina oelh orang-orang pasar. Banyak orang yang mengatakan aku gila dan pantas untuk disiksa baik fisik maupun non fisik. Tanpa terasa sudah hampir 3 bulan aku berada di tempat itu. Aku mulai terbiasa dengan kondisiku saat itu. Baju kumal, celana panjang usang dan bau badan bercampur aduk baunya sehingga sudah hampir hilang indera perasaku.

Ada satu peristiwa yang membuatku kaget dan tertegun. Suatu hari turun hujan deras sekali sehingga tempatku untuk diam menjadi kebanjiran. Tapi aku tetap hanya bisa berdiri dan duduk. Tiba-tiba datang seorang ibu yang kelihatan penjual di pasar tersebut sedang kebelet untuk buang air kecil. Karena malam hari dan suasana gelap serta sudah tidak kuatnya menahan hajatnya, ibu tersebut berdiri (tidak jongkok) di depanku dan mengeluarkan air kecingnya ke mukaku. Rupanya ibu tersebut tidak melihat diriku di depannya. Suasana gelap, sunyi dan derasnya air hujan membuatnya tidak menghiraukan lingkungan sekitar. Sungguh malu dan terhina diri ini. Saat aku ingin menegurnya, mulut ini terasa dikunci dan diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Kalau aku bangun berdiri nanti akan membuat ibu tersebut kaget dan lari ketakutan. Sudahlah akupun hanya bisa menerimanya dan mengelus dada.

Peristiwa yang lain adalah ada seorang tukang becak yang sedang memarkirkan becaknya dekat dengan posisiku duduk. Hari itu suasana terik sekali. Siang hari yang membuatku lemas tak berdaya. Tak disangka tukang becak tersebut memberikan aku sebungkus nasi dan air putih yang dikemas dalam plastik.

" Sungguh kasihan nasibmu anak muda. Saya sudah memperhatikanmu beberapa hari ini. Saya tahu kamu kelaparan. Ini ada nasi bungkus untukmu. Ambil dan makanlah. "

Aku hanya terdiam membisu karena ku tak bisa bicara untuk mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu kenapa aku jadi membisu.

" Ambillah dan makanlah. Kau lebih membutuhkan. Memang saya lagi susah dan beberapa hari ini jarang penumpang menaikki becak saya. Tapi saya ikhlas nasi bungkus ini untuk kamu "

Aku terima pemberian tukang becak tersebut. Aku makan nasi bungkus tersebut dengan lahapnya. Alhamdulillah dalam hatiku, sungguh baik sekali tukang becak ini. Ya Allah berikanlah kemudahan rizki untuk tukang becak ini. Begitulah doaku saat itu.

Setelah itu tukang becak tersebut meninggalkan aku. Tapi malam harinya tukang becak tersebut datang lagi menemuiku. Di tangannya sudah ada nasi bungkus dan air putih. Wajahnya tersenyum kepadaku sambil berkata,

" Ini kubawakan lagi nasi bungkus buatmu anak muda. Alhamdulillah hari ini aku mendapatkan banyak penumpang. Sampai-sampai saya keletihan untuk menariknya. Inipun kalau tidak menemuimu, tadi sudah ada lagi penumpang yang ingin memakai becak saya. Tapi saya ingat kamu "

Akupun tersenyum kepadanya. Akupun berdoa kepada Allah dalam hati agar tukang becak tersebut diberikan rejeki yang lebih.
Tanpa diduga dan dinyana, ternyata selama ini doaku diijabahi oleh Allah SWT. Hampir 3 kali sehari tukang becak tersebut menemuiku dan bercerita kalau dia selalu mendapatkan banyak rejeki sehabis memberikanku makan. Aneh pikirku, tapi itulah kalau Allah punya kehendak.

Suatu hari tukang becak tersebut datang ke tempatku dengan membawa isteri dan 5 orang anaknya yang masih kecil-kecil. Tukang becak tersebut memperkenalkan aku dengan keluarganya. Mereka semua menyalamiku. Bahkan isterinya memelukku tanpa risih dan malu dilihat orang. Apalagi jijik mencium bau tubuhku. Akupun menangis tapi tak bisa berkata-kata.

" Sebenarnya siapakah dirimu anak muda ? Apakah Allah mengirimmu untuk keluarga kami " kata tukang becak tersebut.

Aku hanya diam dan menunduk malu. Sungguh Allah telah memberikan penghargaan kepadaku melalui tukang becak tersebut. Tak bisa lagi aku berkata-kata. Allah memang Maha Besar.

Rupanya itulah hari terakhir tukang becak tersebut menemuiku. Dia dan keluarganya ingin pulang kampung dan menetap di sana. Alhamdulillah kehidupan tukang becak tersebut telah berubah. Sejak mengenalku, penghasilannya makin besar dan mulai bisa menabung. Itulah alasannya tukang becak tersebut pulang kampung untuk memulai hidup baru menjadi petani di kampung halaman. Katanya dia telah membeli sebidang sawah yang rencananya akan digarapnya. Luar biasa. Sungguh momen perpisahan yang menyedihkan dan menggembirakan.

Bagaimana dengan nasibku selanjutnya ? Aku masih terus menjalani amanah Eyang. Aku hanya punya keyakinan kalau memang sudah saatnya Eyang akan datang menemuiku. Benar saja, tepat 4 bulan dan kejadiannya malam hari, aku melihat sosok putih datang mendekati. Rupanya Eyang jenggot putih yang datang.

" Hahahahaha senang saya melihatmu "

Senang sekali perasaanku setelah melihat kedatangannya tapi saya masih tetap tak bisa berkata-kata. Aku pun memberikan tanda kepada eyang sambil menunjuk bibirku.

" Ohhhh sampai aku lupa. Bukalah suaramu "

" Alhamdulillah " Aku sudah bisa berkata-kata lagi walaupun bibir ini masih kelu.

" Engkau memang cucuku yang amanah "

" Terima kasih Eyang "

" Menyesalkah dirimu dengan kondisi yang sekarang ? "

" Tidak, Eyang. Mungkin inilah jalan hidupku dan aku merasa dekat denganNya "

" Alhamdulillah. Maafkan Eyang karena telah membuatku menderita "

" Tidak ada yang perlu dimaafkan karena ini sudah menjadi pilihanku "

" Hahahahahahahaha bangga saya mendengarnya "

" Terima kasih sekali lagi Yang "

" Sekarang kamu mandilah dan bersihkanlah badanmu. Nich sudah kubawakan pakaian untukmu "

Segeralah aku pergi ke kamar mandi di pasar dan mandi sepuas-puasnya. Terasa lega dan segar melihatku kembali normal. Kemudian aku menemui Eyang kembali.

" Syukur Alhamdulillah, kamu telah melewati semua ini "

" Alhamdulillah Yang. Berarti saya telah lulus ya Yang "

" Hehehehe belum anakku "

" Belum ? Bagaimana bisa belum lulus. Kulalui semuanya dengan sabar, ikhlas dan pasrah "

" Betul tapi masih ada yang harus kamu lakukan selanjutnya "

" Apa itu Yang ? Tolong jangan bilang aku banyak tanya "

" Tidak anakku. Tapi ini harus kamu lakukan untuk menyempurnakan dirimu "

" Apalagi Yang "

Eyang Jenggot Putih mendekatiku dan berbisik ke telingaku.

" Hahhhhhh !!! "

" Ayo jalankan anakku. Ingat ! jangan banyak tanya "

" Hmmmmmmmm "
-=-
Sebenarnya apa yang dibisikkan oleh Eyang Jenggot Putih kepada Widi ? Apakah Widi akan melakukan perintah beliau ? Kejadian-kejadian apa yang akan dialami oleh Widi ? Bersambung lagi dech....