Kamis, 01 September 2011

Menangkap Esensi Kehidupan



Saya yakin sudah banyak tulisan yang menceritakan pernak pernik kehidupan. Tapi ada satu yang menarik dari kehidupan yaitu pengalaman kehidupan orang. Ujung-ujungnya bicara tentang cinta. Cinta asmara, cinta keluarga, cinta saudara, cinta teman, cinta tanah air, cinta manusia sampai cinta terlarang. Cinta menjadi rumit apabila manusia belum mampu menangkap esensi kehidupan.


Esensi? Ya, begitulah saya menamainya atau mungkin juga bisa dipakai kata inti. Rahmatan lil alamin, itulah yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Atau bahasa kerennya PEACEFUL LIFE. Sebenarnya kalau kita pelajari lagi lebih dalam maka ada keterkaitan dengan 10 Perintah Tuhan-nya Nabi Musa. Ini juga berkaitan dengan keadilan. Keadilan versi Nabi Musa memang agak berbeda dan rasanya berat untuk dijalankan oleh manusia saat ini. BERSEDIA MENDERITA DEMI KEBAHAGIAAN ORANG LAIN. Menarik dan butuh perenungan untuk memahami kalimat di atas.



Pada akhirnya kita menyadari, kalau esensi kehidupan bukan hanya mempelajari kitab-kitab suci sampai ngelotok tetapi kuncinya adalah istiqomah atau terus melakukan atau just do it sesuai aturan yang diperintahkan Tuhan dengan keyakinan penuh atau haqqul yaqin. Kembali lagi ujungnya adalah WHAT YOU HAVE DONE. Kalau sudah begitu kebenciaan terhadap sesama, sekelompok atau seluruh manusia dapat dihindari. Semua tergantung kepada manusianya.


Mau ke kiri atau ke kanan, atas atau bawah, surga atau neraka, senang atau susah dan seterusnya. Benturan-benturan terjadi karena merasa "ter" atau mengagungkan egosentrisme atau tertutupnya empati dan simpati atau masa bodo dengan situasi kondisi orang di sekitarnya. Yang penting saya senang. Kalau hal tersebut tidak bisa terkontrol maka akan ada "kitab suci" baru versi manusia yang lupa keberadaannya di dunia. Ayat-ayat bisa dibuat seenak udelnya sampai mengabaikan esensi kehidupan yang hakiki. Tidak mau tahu dengan apa yang telah Tuhan perintahkan. Nilai-nilai ibadah ritual dan sosial diabaikan demi kepentingan pribadi. Ketakutan dan keserakahan menjadi sesembahan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan, harta dan "miliknya". Keserakahan yang merajalela karena tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki atau lebih tepatnya tidak pernah bersyukur. Keegoan, emosi, spiritualitas harus terukur dan terjaga agar mengerti makna kehidupan, MENGERTI DIMANA POSISINYA DAN BERAPA PORSINYA.


Di negeri kita sudah banyak orang "pintar" dan menduduki tempat empuk. Menariknya umur mereka muda-muda tetapi secara mental dan spiritual mereka rendah atau nol. Yang terjadi kesemena-menaan, nilai menghormati-menghargai antara yang tua dan muda terabaikan, rasa sopan santun hanya kata di mulut tanpa perbuatan sehingga yang ada kenaifan dan omong kosong belaka. EGP dan DL menjadi tren. Berbeda dengan orang tua kita dulu yang ditempa dan terasah intelektual, emosi dan spiritualnya melalui kawah candradimuka kehidupan sesuai Standard Operation Procedure (SOP) Tuhan dan nilai-nilai budaya luhur nenek moyangnya. Satu hal apa yang dijalani mereka lebìh modern dan lebih peaceful life dibandingkan dengan generasi sekarang.

Akhir kata, tak ada kata akhir dalam mengerti kehidupan dan semuanya akan berakhir tatkala telah datang hari akhir pada setiap manusia.

Sumber : Cechgentong dalam Forum Diskusi Komunitas Spiritual Bawah Tanah, 17 Agustus 2010.

NB : Sebetulnya ini tulisan lama yang dipublish di Facebook hari ini oleh teman saya dari Brunei Jaya Permana untuk perenungan Idul Fitri